Rastranews.id, Toraja — Kasus Pandji Pragiwaksono yang baru-baru ini menuai sorotan publik menjadi pengingat penting tentang bagaimana jejak digital bisa berdampak panjang.
Padahal, pernyataan yang kini dipermasalahkan masyarakat Toraja itu diucapkan Pandji sudah lebih dari satu dekade lalu, tepatnya dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku pada tahun 2013.
Potongan video berisi candaan Pandji tentang masyarakat Toraja kembali viral di media sosial pada akhir Oktober 2025.
Banyak warga Toraja menilai isi lawakan tersebut menyinggung adat dan budaya mereka. Gelombang kritik pun meluas hingga mendorong sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat adat menyuarakan keberatan.
Menanggapi situasi tersebut, Pandji Pragiwaksono menyampaikan permintaan maaf terbuka melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @pandji.pragiwaksono.
Dalam surat berjudul “Kepada Yang Terhormat Masyarakat Toraja”, Pandji mengakui kekeliruannya dan siap menjalani proses hukum maupun adat sebagai bentuk tanggung jawab moral.
“Saya menyadari bahwa joke yang saya buat memang ignorant. Untuk itu saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa dilukai,” tulis Pandji.
Ia juga menyebut telah berdialog langsung dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, yang merupakan tokoh masyarakat Toraja. Dari percakapan itu, Pandji memahami pentingnya penyelesaian secara adat sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai budaya lokal.
“Ibu Rukka bersedia memfasilitasi pertemuan dengan 32 wilayah adat Toraja. Saya akan berusaha mengambil langkah itu,” ungkapnya.
Meski demikian, Pandji menegaskan siap mengikuti proses hukum negara apabila secara waktu tidak memungkinkan untuk menjalani sidang adat di Toraja.
Kasus ini menjadi refleksi bahwa di era digital, konten lama pun bisa kembali muncul dan menimbulkan polemik baru.
Banyak pihak menilai, peristiwa ini seharusnya dijadikan pelajaran bagi para kreator konten dan pelaku seni untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan materi yang bersinggungan dengan suku, agama, ras, dan budaya.
Pandji sendiri menyatakan akan menjadikan kejadian ini sebagai momentum untuk tumbuh menjadi pelawak yang lebih peka terhadap keberagaman.
“Saya akan belajar dari kejadian ini, dan menjadikannya momen untuk menjadi pelawak yang lebih baik,” tulisnya lagi.
Ia berharap kasus ini tidak membuat para komika takut membahas isu keberagaman, melainkan mendorong mereka untuk menyampaikannya dengan cara yang lebih bijak dan menghormati semua pihak.
“Yang penting bukan berhenti membicarakan SARA, tapi bagaimana membicarakannya tanpa merendahkan atau menjelek-jelekkan,” tegas Pandji.
Meski sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun, kasus ini menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap isu budaya dan adat istiadat tetap relevan. Dan di era media sosial, tidak ada yang benar-benar “lupa” karena publik bisa menghidupkan kembali peristiwa lama kapan saja. (MU)

