Terpisah, Dinas Sosial Kota Makassar yang dikonfirmasi belum memberikan penjelasan seperti apa penanganan gepeng dan anjal yang dilakukan sehingga masalah tersebut terus saja berulang dan menjadi keresahan warga.
Pemerintah Lakukan Pelanggaran Konstitusi
Keberadaan gepeng dan anjal yang tetap eksis di Kota Makassar adalah cermin dari persoalan sosial-ekonomi yang masih mengakar. Mereka bukan sekadar statistik atau gangguan estetika kota, melainkan manusia yang terjepit dalam lingkaran kemiskinan.
Merespons fenomena ini, Pengamat Pemerintahan Jalaludin B. menegaskan bahwa masalah ini adalah urusan konstitusional. Ia mengutip bunyi Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 dengan tegas: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
“Artinya, jika negara dalam arti pemerintah provinsi, meliputi Gubernur, Wali kota, dan Bupati, wajib memastikan bahwa kelompok rentan ini dapat memperoleh kebutuhan dasar mereka. Jika tidak, berarti pemerintah melakukan pelanggaran konstitusi,” jelas Jalaludin.
Ia menduga, desakan ekonomi adalah akar masalahnya. “Menjadi gelandangan, anak jalanan, dan seterusnya adalah cara termudah mendapatkan uang. Ada juga gap kelas sosial bahwa ukuran standar kehidupan yang baik itu adalah kepemilikan ekonomi yang cukup,” paparnya.
Jalaludin menawarkan solusi yang lebih komprehensif dibandingkan bantuan langsung tunai (BLT). Ia merekomendasikan kebijakan yang mengakomodasi partisipasi sosial anak jalanan dengan upah yang memadai, tentu dengan memperhatikan usia dan kapasitas mereka.
“Misal, pendidikan, kesehatan, dan perumahan serta keamanan dari orang dewasa yang tidak sedikit menggunakan anak-anak gelandangan ini untuk keperluan pribadi,” ujarnya.
Langkah seperti membuat jaminan sosial atau asuransi bagi kelompok rentan juga dinilai penting. Ia juga menyoroti perbedaan paradigma, “Di Eropa ada kesan orang-orang rentan seperti gelandangan dianggap pemalas sehingga tidak ada kewajiban untuk memperhatikan mereka.” Namun, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, tanggung jawab sosial negara tidak bisa dielakkan.
Masalah gepeng dan anjal adalah sebuah narasi yang berulang. Ia adalah pengingat bahwa di balik kemajuan sebuah kota, ada cerita-cerita yang tertinggal.
Maraknya anjal dan gepeng bukan hanya soal penertiban, tetapi lebih pada panggilan untuk penanganan yang manusiawi, berkelanjutan, dan konstitusional.
Sebuah tugas bersama untuk memastikan bahwa tidak ada lagi warga negara yang harus menjadikan trotoar sebagai tempat mencari harapan. (AR)