Rastranews.id, Makassar – Gelandangan dan pengemis atau gepeng hingga anak jalanan (anjal) semakin bebas berkeliaran di ruas jalanan di Kota Makassar. Datang dari berbagai kalangan mulai anak-anak hingga lansia.
Aktivitas mereka pada dasarnya sama, yaitu meminta-minta. Hanya saja, modusnya memang selalu terlihat beragam, seperti ada yang berjualan, mengamen, dan lain sebagainya.
Sebagian besar pengendara ataupun masyarakat umumnya, sangat merasa resah. Pasalnya, penyakit sosial seperti itu tampak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah.
Sekalipun sesekali ada penertiban dilakukan, tampak bahwa hal tersebut tidak memberikan efek jera. Selain itu, pengawasan hingga pembinaan yang disebut juga telah dilakukan, nyatanya belum efektif untuk mengatasi masalah gepeng secara konkret.
Pantauan Rastranews.id, pada Jumat (19/9/2025) pagi, kawasan Jl Urip Sumoharjo, salah satu jalur utama kota, masih dipenuhi para pemulung dan pengemis yang mencari rezeki mulai dari pagi hingga malam hari.
Salah satu pengemis yang beraktivitas di kawasan tersebut adalah Daeng Ngai (60) Perempuan yang mengaku tinggal di sekitar Jl Adiaksa Baru ini telah menjalani profesi sebagai pengemis selama dua tahun terakhir.
Rutinitasnya dilakukan setiap hari dengan berjalan kaki dari rumahnya sambil mendorong gerobak hingga ke daerah Jl Urip Sumoharjo, sebelum akhirnya kembali pulang. Setiap Jumat ia keluar lebih awal.
“Hari biasa jam 2 baru keluar, magrib pulang,” ujarnya saat ditemui di jalan.
Daeng Ngai mengaku terpaksa mencari nafkah sendiri ke jalanan karena tidak memiliki suami yang menafkahi. “Tidak ada suami cari uang,” katanya. Saat ini, ia hanya tinggal bersama anak laki-lakinya yang bungsu.
Untuk meringankan beban hidup, Daeng Ngai menerima Bantuan Sosial (Bansos) dari pemerintah berupa beras. Namun, bantuan tersebut hanya datang dalam jangka waktu 2 hingga 3 bulan sekali, yang dirasanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ditanya terkait apakah ada pembinaan dan pemerdayaan yang diberikan pemerintah kepada dirinya. Daeng Ngai mengaku tidak ada. Selama ini memang cuman bantuan beras saja. “Tidak pernah,” katanya singkat.
Di lokasi berbeda, tepatnya di pertigaan Jl A.P Pettarani – Jl Boulevard, Kota Makassar, sering terlihat cukup banyak anak-anak berusia kisaran 6-10 tahun berkumpul di sekitar traffict light meminta-minta kepada pengendara.
Di lokasi ini tampak bahwa mereka juga dibiarkan begitu saja, sebab dalam beberapa pekan terakhir, tidak ada penertiban yang dilakukan pemerintah.
Seorang pengendara, Yudhi (30) mengaku resah dengan keberadaan gepeng maupun anjal yang kian eksis di jalan-jalan perkotaan, khususnya di perhentian seperti traffict light tempat biasanya mereka berkumpul di sana.
“Ini tidak tau siapa yang salah, mereka atau pemerintah memang yang tidak ada perhatian, karena bebas sekali saya lihat mereka meminta-minta ke pengendara,” sesalnya.
Dinsos Pemprov Sebut Kewenangan Pemkot
Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tak menampik gepeng dan anjal masih menjadi masalah di perkotaan. Hanya saja, mereka menyebut kewenangan terkait penanganan adalah ranahnya dinas sosial di tingkat kabupaten/kota. Pemprov sendiri sekadar mendukung pembinaan.
“Sebaiknya (tanyakan) Dinas Sosial Kab/Kota yang ada anak jalanan dan pengemisnya. Itu kewenangan dan kewajiban Kab/Kota menjaga warganya dan menjaga ketertiban jalanan dalam wilayahnya. Provinsi cuma support pembinaan lanjutan jika Kab/Kota meminta dukungan,” kata Kepala Dinas Sosial Sulsel, Malik Faisal kepada Rastranews.id.
Dijelaskannya, Pemprov memiliki UPT Rehabilitasi Pembinaan lanjutan untuk anak dan remaja. Setelah mendapatkan pembinaan dari pemerintah kota ataupun kabupaten masing-masing, mereka digembleng dalam asrama selama 3 sampai 6 bulan per program angkatan.
“Semua peserta diusulkan dan diantar sendiri oleh Pemerintah Kab/Kota. Lokasinya ada di Bulukumba, Maros dan Bone,” tandasnya.
Terpisah, Dinas Sosial Kota Makassar yang dikonfirmasi belum memberikan penjelasan seperti apa penanganan gepeng dan anjal yang dilakukan sehingga masalah tersebut terus saja berulang dan menjadi keresahan warga.
Pemerintah Lakukan Pelanggaran Konstitusi
Keberadaan gepeng dan anjal yang tetap eksis di Kota Makassar adalah cermin dari persoalan sosial-ekonomi yang masih mengakar. Mereka bukan sekadar statistik atau gangguan estetika kota, melainkan manusia yang terjepit dalam lingkaran kemiskinan.
Merespons fenomena ini, Pengamat Pemerintahan Jalaludin B. menegaskan bahwa masalah ini adalah urusan konstitusional. Ia mengutip bunyi Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 dengan tegas: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
“Artinya, jika negara dalam arti pemerintah provinsi, meliputi Gubernur, Wali kota, dan Bupati, wajib memastikan bahwa kelompok rentan ini dapat memperoleh kebutuhan dasar mereka. Jika tidak, berarti pemerintah melakukan pelanggaran konstitusi,” jelas Jalaludin.
Ia menduga, desakan ekonomi adalah akar masalahnya. “Menjadi gelandangan, anak jalanan, dan seterusnya adalah cara termudah mendapatkan uang. Ada juga gap kelas sosial bahwa ukuran standar kehidupan yang baik itu adalah kepemilikan ekonomi yang cukup,” paparnya.
Jalaludin menawarkan solusi yang lebih komprehensif dibandingkan bantuan langsung tunai (BLT). Ia merekomendasikan kebijakan yang mengakomodasi partisipasi sosial anak jalanan dengan upah yang memadai, tentu dengan memperhatikan usia dan kapasitas mereka.
“Misal, pendidikan, kesehatan, dan perumahan serta keamanan dari orang dewasa yang tidak sedikit menggunakan anak-anak gelandangan ini untuk keperluan pribadi,” ujarnya.
Langkah seperti membuat jaminan sosial atau asuransi bagi kelompok rentan juga dinilai penting. Ia juga menyoroti perbedaan paradigma, “Di Eropa ada kesan orang-orang rentan seperti gelandangan dianggap pemalas sehingga tidak ada kewajiban untuk memperhatikan mereka.” Namun, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, tanggung jawab sosial negara tidak bisa dielakkan.
Masalah gepeng dan anjal adalah sebuah narasi yang berulang. Ia adalah pengingat bahwa di balik kemajuan sebuah kota, ada cerita-cerita yang tertinggal.
Maraknya anjal dan gepeng bukan hanya soal penertiban, tetapi lebih pada panggilan untuk penanganan yang manusiawi, berkelanjutan, dan konstitusional.
Sebuah tugas bersama untuk memastikan bahwa tidak ada lagi warga negara yang harus menjadikan trotoar sebagai tempat mencari harapan. (AR)