Ia menyebut sekitar 1.300 jurnalis kehilangan mata pencaharian, bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga hilangnya mata dan telinga publik.

“Ketika satu jurnalis di-PHK, satu mata rakyat ditutup. Ketika satu media dimatikan, satu telinga rakyat ditulikan. Dan ketika pers mati, semua rakyat menjadi buta,” ujarnya berapi-api.

Nany menekankan bahwa jurnalis bekerja demi kepentingan publik, bukan untuk keuntungan pribadi atau tekanan kekuasaan.

Meski tanpa senjata atau kekuasaan, jurnalis mampu membongkar korupsi, mengungkap kerusakan lingkungan, dan menyuarakan masyarakat adat.

“Yang meliput kerusakan hutan, sungai yang tercemar limbah, atau perjuangan masyarakat adat bukan influencer, bukan buzzer, tapi jurnalis. Karena mereka meliput dengan jujur demi publik,” katanya.

Di akhir sambutan, Nany menyerukan solidaritas lintas sektor untuk menjaga kebebasan pers, melibatkan aktivis lingkungan, pegiat HAM, komunitas adat, hingga seniman.

“Melindungi jurnalis berarti melindungi demokrasi,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Fesmed 2025, Syahrul Ramadhan, menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung terselenggaranya acara.

Ia menekankan bahwa Fesmed tahun ini digelar dengan semangat kolaborasi dan inklusivitas.
“Tahun ini kami membuat Festival Media dengan semangat inklusif, berkolaborasi dengan berbagai kalangan, dan membahas permasalahan dari berbagai sektor. Terima kasih kepada semua yang sudah ikut memeriahkan acara ini,” ucap Syahrul.

Festival Media 2025 di Makassar akan berlangsung selama beberapa hari dengan rangkaian diskusi, pameran, lokakarya, hingga pertunjukan seni yang melibatkan jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil. (HL)