Rastranews.id, Makassar – Suara perlawanan atas pembungkaman pers dan kekhawatiran akan krisis demokrasi bergema kencang dari Gedung E Benteng Ujung Pandang, Makassar.

Festival Media (Fesmed) 2025 yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia resmi dibuka, Jumat (12/9) malam, menghimpun ratusan jurnalis, akademisi, aktivis, dan perwakilan komunitas sipil dari berbagai penjuru tanah air.

Dalam pidato pembukaannya, Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menegaskan bahwa pilihan Kota Makassar sebagai tuan rumah adalah sebuah keputusan yang penuh pertimbangan.

Ia menyampaikan apresiasi mendalam atas sambutan hangat dari masyarakat dan rekan jurnalis lokal.

“Festival media ini adalah ajang untuk seluruh jurnalis Indonesia. Temanya kali ini cukup serius, karena demokrasi kita sedang sakit. Ini bukan acara seremonial, tapi momentum untuk melawan penyakit berbahaya dalam demokrasi: pembungkaman pers,” tegas Nany.

Nany mengingatkan bahwa kebebasan pers adalah napas demokrasi. Tanpa jurnalis yang dapat bekerja secara merdeka, publik hanya akan disuguhi kebohongan yang dipoles seolah kebenaran.

“Jurnalis terus dibungkam. Ada intimidasi, kriminalisasi, kamera dirampas, ponsel disita, bahkan dipukul saat bertugas. Ada pula sensor halus melalui tekanan iklan dan kepentingan politik, serta undang-undang yang menakut-nakuti media. Apakah ini demokrasi, atau jalan kembali ke militer dengan wajah baru?” serunya.

Selain kekerasan, Nany juga menyoroti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda industri media.

Ia menyebut sekitar 1.300 jurnalis kehilangan mata pencaharian, bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga hilangnya mata dan telinga publik.

“Ketika satu jurnalis di-PHK, satu mata rakyat ditutup. Ketika satu media dimatikan, satu telinga rakyat ditulikan. Dan ketika pers mati, semua rakyat menjadi buta,” ujarnya berapi-api.

Nany menekankan bahwa jurnalis bekerja demi kepentingan publik, bukan untuk keuntungan pribadi atau tekanan kekuasaan.

Meski tanpa senjata atau kekuasaan, jurnalis mampu membongkar korupsi, mengungkap kerusakan lingkungan, dan menyuarakan masyarakat adat.

“Yang meliput kerusakan hutan, sungai yang tercemar limbah, atau perjuangan masyarakat adat bukan influencer, bukan buzzer, tapi jurnalis. Karena mereka meliput dengan jujur demi publik,” katanya.

Di akhir sambutan, Nany menyerukan solidaritas lintas sektor untuk menjaga kebebasan pers, melibatkan aktivis lingkungan, pegiat HAM, komunitas adat, hingga seniman.

“Melindungi jurnalis berarti melindungi demokrasi,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Fesmed 2025, Syahrul Ramadhan, menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung terselenggaranya acara.

Ia menekankan bahwa Fesmed tahun ini digelar dengan semangat kolaborasi dan inklusivitas.
“Tahun ini kami membuat Festival Media dengan semangat inklusif, berkolaborasi dengan berbagai kalangan, dan membahas permasalahan dari berbagai sektor. Terima kasih kepada semua yang sudah ikut memeriahkan acara ini,” ucap Syahrul.

Festival Media 2025 di Makassar akan berlangsung selama beberapa hari dengan rangkaian diskusi, pameran, lokakarya, hingga pertunjukan seni yang melibatkan jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil. (HL)