Praktik bertani dalam skala rumah tangga ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tetapi juga berfungsi memperbaiki kualitas udara, memperindah lingkungan, serta menghidupkan budaya gotong royong dan produktivitas warga.

“Jadi, urban farming ini hadir sebagai bentuk kreativitas masyarakat kota untuk tetap bisa berdaya dalam bidang pangan. Tidak hanya soal konsumsi, tetapi juga membuka potensi ekonomi keluarga,” tutur Appi.

Lebih lanjut, Munafri menyampaikan bahwa program ini akan dijalankan secara masif dan menyeluruh di tingkat akar rumput.

Sekitar kurang lebih, 6.000 Ketua RT di seluruh Makassar diwajibkan menjalankan urban farming di wilayah masing-masing, yang akan diintegrasikan dengan sistem pengelolaan sampah domestik berbasis rumah tangga.

“Urban farming ini tidak lagi sekadar program dinas. Ini akan menjadi kewajiban struktural di tingkat RT, yang akan disertai sistem pengelolaan sampah mandiri, mulai dari biopori, komposter, eco-enzyme, hingga budidaya maggot. Semuanya saling terhubung,” tegasnya.

Untuk mendukung keberhasilan program ini, Pemkot Makassar membuka ruang kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta melalui program CSR, komunitas tani kota, dan akademisi.

Lanjut dia, sudah jajaki keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta untuk membina kelompok urban farming di berbagai wilayah.

“Hasil panen nantinya bisa disalurkan ke Pasar Tani untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, setelah kebutuhan lokal RT/RW terpenuhi,” ungkap Munafri.