LUWU TIMUR, SULSEL – Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sulawesi terus memperketat pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran hukum kehutanan di Sulawesi Selatan. Terbaru, tiga pelaku pembalakan liar di kawasan hutan lindung Kabupaten Luwu Timur telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan.

Dua dari mereka, berinisial RS dan IB, diduga telah merambah hutan seluas 9,8 hektare di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Angkona. Lahan tersebut digunakan untuk membuka kebun kelapa sawit.

Menurut Kepala Seksi Wilayah I Gakkum Makassar, Abdul Waqqas, kasus keduanya telah dilimpahkan ke pihak kejaksaan.
Sementara itu, satu tersangka lainnya, RH, juga ditahan atas kasus illegal logging di wilayah KPH Larona. Proses penyidikan terhadap RH masih berlangsung.

“Selain menebang pohon, di lokasi ditemukan tiang-tiang yang ditancapkan. Diduga kuat akan dijadikan kebun merica,” ujar Waqqas saat dikonfirmasi, Selasa (5/8/2025).

Dari hasil penyelidikan, RH diketahui telah menebang sedikitnya delapan pohon. Indikasi kuat menunjukkan lahan itu disiapkan untuk perkebunan merica.

Waqqas mengungkapkan bahwa Kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah dengan tingkat perambahan hutan tertinggi di Sulawesi Selatan.

Selain dua kasus besar tersebut, Gakkum juga menerima berbagai laporan masyarakat, termasuk rekaman video aksi pembalakan liar di kawasan KPH Larona, yang saat ini tengah dikaji lebih lanjut. “Ini masih dalam tahap pengumpulan data dan bahan keterangan,” seru Kepala Balai Gakkum Sulawesi, Ali Bahri, dalam keterangan terpisah.

Modus yang digunakan para pelaku umumnya seragam: menebang pohon, menjual hasil kayu, lalu membuka lahan, bahkan dengan cara membakar.

Waqqas menegaskan bahwa jika aktivitas tersebut terjadi di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), maka Gakkum akan mengambil tindakan tegas.

Bukan hanya di kawasan hutan lindung, Gakkum juga menerima laporan terkait aktivitas pembalakan liar di dalam wilayah PPKH PT Vale Indonesia Tbk. Itu diketahui lataran perusahaan tambang nikel tersebut rutin berkoordinasi dengan Gakkum dalam penanganan isu-isu kehutanan.

Namun, karena wilayah tersebut berada dalam konsesi perusahaan, pendekatan mediasi lebih diutamakan agar penyelesaian tidak menimbulkan konflik atau berujung pada proses hukum. “Ini persoalan multidimensi, melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah. Jadi kami dorong penyelesaian yang menyeluruh dan damai,” jelas Waqqas.

Menurutnya, penegakan hukum tidak harus selalu berakhir dengan penahanan. Jika ditemukan titik temu antara pelaku, perusahaan, dan pemerintah daerah, maka penyelesaian damai tetap bisa ditempuh, demi menjaga stabilitas sosial dan wilayah. (HL)