MAKASSAR, SULSEL – Di tengah terik matahari yang menyinari kawasan Sentra Wirajaya, Makassar, Ibu Suryani berdiri dengan mata berkaca-kaca. Hari itu, anaknya, Muhammad Rahmatullah, resmi memulai masa orientasi sebagai siswa Sekolah Rakyat SMP 23.
Bagi Suryani, ini bukan sekadar hari biasa. Ini adalah momen besar, gerbang baru bagi anaknya yang selama ini nyaris tak tersentuh pendidikan formal karena kendala ekonomi. “Saya sangat bersyukur sekali, karena anak saya bisa terpanggil sekolah di sini,” ujarnya lirih.
Dengan suara sedikit bergetar, ia mengenang bagaimana dulunya hampir mustahil membiayai pendidikan anaknya, apalagi menyekolahkan ke pesantren seperti keinginannya. “Ekonomi kami sangat terbatas. Saya jualan kue keliling, suami pun kerja serabutan, kadang ada, kadang tidak.”
Suryani mengaku sempat terkejut saat petugas dari dana sosial mendatangi rumahnya, membawa kabar bahwa anaknya bisa mendapat kesempatan belajar di Sekolah Rakyat. “Saya sempat kaget, ada apa ini? Tapi setelah dijelaskan, saya merasa sangat terbantu. Ini program luar biasa dari pemerintah dan Presiden, khusus untuk masyarakat bawah seperti kami.”
Meski pada awalnya sang anak enggan, mengira sekolah ini layaknya mondok, Suryani terus memberi motivasi. “Saya bujuk terus. Saya bilang, ini untuk masa depanmu, Nak. Ini rejeki dari Allah. Kalau kita sekolah biasa, kita harus bayar. Tapi ini tidak. Malah dikasih uang transportasi pulang.”
Sekolah Rakyat yang kini berdiri megah di Sentra Wirajaya memang dirancang sebagai sekolah berasrama (boarding school) gratis yang menyasar anak-anak dari keluarga tidak mampu. Kepala Sekolah SR SMP 23 Makassar, Nurabiah, menyebutkan bahwa sebanyak 150 siswa telah terdaftar dan resmi mengikuti kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang dibuka Senin (14/7/2025).
“Kegiatan hari ini difokuskan pada pembukaan MPLS dan pemeriksaan kesehatan gratis oleh tim dari Puskesmas Biringkanaya. Semua siswa diarahkan untuk registrasi, pemeriksaan, lalu masuk ke asrama,” ujar Nurabiah.
Ia menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat memiliki pendekatan berbeda dibanding sekolah reguler. Setelah MPLS, para siswa tidak langsung mulai belajar akademik, melainkan melalui masa adaptasi selama dua hingga tiga bulan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan berasrama dan pola pendidikan baru.
“Yang kami hadapi adalah anak-anak dari latar belakang kurang beruntung. Kami mengadopsi semangat Prof. Nuh: memuliakan kaum duafa, menjangkau yang tidak terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin,” tuturnya.
Tidak hanya pembelajaran akademik, para siswa juga akan dibekali pendidikan keagamaan, penguatan karakter, hingga talent mapping—pemetaan bakat berbasis aplikasi—untuk melihat potensi mereka sejak dini.
“Mereka akan mendapat pelajaran yang setara dengan sekolah reguler, ditambah program pengembangan diri. Harapannya, lulusan Sekolah Rakyat ini siap menjadi bagian dari Generasi Emas 2045, generasi yang tangguh secara karakter dan mumpuni secara keterampilan.”
Bagi Ibu Suryani, mungkin tidak semua orang tua mampu memberikan kemewahan bagi anak-anaknya. Tapi hari itu, ia merasa telah memberikan sesuatu yang jauh lebih besar: kesempatan.
“Sebenarnya, tidak ada orang tua yang rela anaknya jauh darinya. Tapi demi masa depan yang lebih baik, saya harus rela. Saya hanya berdoa, semoga anak saya diperlakukan seperti anak sendiri oleh guru dan wali asrama di sini.”
Muhammad Rahmatullah kini telah resmi menjadi bagian dari 150 siswa Sekolah Rakyat. Di tangannya, harapan keluarga sederhana itu kini tumbuh. Dan dari balik senyum ibunya, tergambar jelas: pendidikan yang layak memang seharusnya bukan milik segelintir, melainkan hak semua anak bangsa.