Lebih lanjut, ia mengaku telah berupaya menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, namun tidak membuahkan hasil. Bahkan, beberapa kali diberi janji palsu.

“Kami dijanji surat pengambilan paspor tanggal 9 Juli. Tapi saat kami datang, kantornya tutup. Katanya ke luar daerah, hapenya juga tidak aktif. Padahal logikanya, sekarang jarang ada hape yang benar-benar tidak aktif,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia menyebut sempat mendapat tekanan dari pihak travel.

Ia diancam kalau paspor katanya sudah terdaftar di tiket pesawat.

Tapi waktu diminta bukti tiket, tidak bisa ditunjukkan. Ancaman lainnya, terkait jarak hotel saat berada di Tanah Suci.

“Katanya siapa cepat bayar, dia dekat hotelnya. Yang lambat, jauh hotelnya. Kami jemaah merasa tidak adil. Buat apa lanjut kalau seperti ini,” ucapnya kecewa.

Kata Rohani, pihak travel sempat meminta pelunasan sisa Rp42 juta jika ingin paspor dikembalikan. Ia juga mempertanyakan logika pernyataan tersebut.

“Kenapa paspor kami jadi seolah mau disalahgunakan? Kalau sekadar ke Australia atau ke mana, itu kan hak kami. Kecuali kalau ada penyalahgunaan paspor,” tandasnya.

Selain itu, ia juga menyinggung biaya vaksin yang dibebankan kepada para jemaah.

“Vaksinnya dipaksa, dan harganya jauh di atas harga normal. Vaksin pertama Rp450 ribu, kedua Rp350 ribu. Sementara di luar bisa Rp200 ribu,” ujarnya.