JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja positif selama sepekan terakhir dengan kenaikan sebesar 3,17%, disertai arus dana masuk (inflow) di pasar reguler sebesar Rp413 miliar.
“Sejak breakout minor Cup and Handle pada 10 Juli 2025, IHSG terus bergerak di atas garis rata-rata MA5. Ini menunjukkan akselerasi yang sangat kuat,” ujar Imam Gunadi, Analis Ekuitas dari PT Indo Premier Sekuritas (IPOT).
Imam menjelaskan, lonjakan IHSG tersebut didorong oleh dua sektor utama, yakni IDXINFRA (infrastruktur) dan IDXTECHNO (teknologi), yang mencatatkan kenaikan signifikan.
Beberapa saham yang menopang kinerja sektor teknologi antara lain DCII, EMTK, WIFI, dan EDGE, sedangkan dari sektor infrastruktur ada BREN, SSIA, dan TOWR.
“Perlu diketahui, Bank Indonesia (BI) sebelumnya memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Kedua sektor ini teknologi dan infrastruktur, terkenal cukup sensitif terhadap perubahan suku bunga,” lanjut Imam.
Ia juga menyoroti katalis eksternal yang turut memengaruhi sentimen pasar, yaitu kesepakatan tarif impor antara Amerika Serikat dan Jepang pada Selasa, 22 Juli 2025, dengan tarif sebesar 15%.
“Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia? Saya melihat ada dua sisi, positif dan negatif. Sisi positifnya, kesepakatan dagang ini mengurangi ketidakpastian global terkait tarif. Bahkan, indeks volatilitas VIX turun hingga 11,71% pekan lalu,” jelas Imam.
Negatifnya terhadap Indonesia, karena Jepang merupakan salah satu kontributor terbesar dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia.
Pada kuartal I 2025, Jepang merealisasikan investasi sebesar USD 1 miliar atau sekitar Rp16 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS). Dengan meningkatnya investasi Jepang ke AS, ada kekhawatiran bahwa porsi investasi ke negara lain, termasuk Indonesia akan dikurangi.
Dari dalam negeri, Imam menyoroti kebijakan baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan seluruh perusahaan tambang mineral dan batu bara untuk mengajukan ulang Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mulai Oktober 2025. Perubahan besar lainnya, pengajuan RKAB yang sebelumnya berlaku tiga tahun, kini akan dilakukan setiap tahun.
“RKAB tiga tahunan memberikan kepastian hukum dan stabilitas bagi investor untuk merencanakan produksi, pembelian alat berat, kontrak ekspor, maupun pinjaman bank. Tapi dengan RKAB tahunan, izin operasi hanya berlaku 12 bulan, sehingga rencana jangka panjang menjadi lebih berisiko dan bisa tertunda,” tegas Imam.
Ia mencontohkan, jika sebuah perusahaan tambang berencana membeli alat berat senilai Rp100 miliar dengan masa pakai lima tahun, maka dengan sistem RKAB tahunan, perusahaan menanggung risiko jika izin tahun berikutnya tidak disetujui. Akibatnya, alat berat bisa menjadi tidak produktif.
“Mengajukan dan menunggu persetujuan setiap tahun berarti akan ada tambahan waktu dan biaya administratif. Jika sistem digital ESDM belum siap atau terjadi bottleneck, izin bisa terlambat dan menyebabkan penghentian sementara produksi,” pungkas Imam.