ᨅᨚᨒ, ᨔᨕᨚᨑᨍ, ᨅᨒ, ᨈᨚᨀᨚᨊ᨞

SULSEL – Di antara hamparan sawah yang keemasan dan punggung bukit yang membiru, berdiri rumah-rumah tua yang seakan bercerita. Mereka bukan sekadar tumpukan kayu dan anyaman bambu, melainkan saksi bisu yang menyimpan ribuan kisah.

Angin berbisik di antara celah-celah papan kayu rumah itu, membawa nyanyian dari masa lalu. Rumah-rumah di Sulawesi Selatan bukan sekadar tempat berteduh – mereka adalah arsitektur yang bernyanyi, menyimpan jutaan memori dalam setiap serat kayunya. Dan selama masih ada yang mau mendengar, nyanyian itu akan terus bergema.

Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah rumah bagi beragam suku dan budaya yang kaya. Setiap suku memiliki ciri khasnya masing-masing, termasuk dalam hal rumah adat. Salah satu bentuk yang paling dikenal adalah rumah panggung, yang memiliki variasi bentuk, gaya, dan nama, serta masih berfungsi hingga kini.

Dahulu, rumah adat bukan hanya sekadar tempat tinggal. Mereka berfungsi sebagai tempat bagi para raja, bangsawan, dan petinggi adat untuk bermusyawarah dan menyelesaikan berbagai masalah. Meskipun demikian, masyarakat umum juga membangun rumah panggung sebagai tempat tinggal mereka. Perbedaan utama terletak pada bentuk atap rumah, yang menjadi simbol status sosial pemiliknya.

Setiap lekuk atap di Sulawesi Selatan adalah puisi. Di tanah Bugis, atap pelana yang anggun melambung ke langit, dihiasi timpalaja – bidang segitiga penanda strata sosial. Semakin banyak timpalaja, semakin tinggi derajat sang pemilik.

Di tanah Makassar, Balla-balla megah menjulang dengan tiang-tiang kokoh. Timbaksela di pucuk atapnya seperti mahkota – segitiga tunggal untuk rakyat biasa, susunan bertingkat untuk para bangsawan.

Rumah Adat Tongkonan Toraja

Di lembah Toraja, rumah-rumah seakan ingin terbang. Tongkonan dengan atapnya yang melengkung tajam seperti perahu phinisi yang hendak berlayar ke langit. Kabongo – kepala kerbau yang terpampang gagah di depan rumah, bukan sekadar hiasan. Setiap tanduk adalah kisah.

Saat ini, banyak daerah di Sulsel yang masih mempertahankan rumah panggung sebagai tempat tinggal. Ini merupakan warisan nenek moyang yang terus dijaga dan dilestarikan. Namun, seiring perkembangan zaman, rumah panggung kini telah dimodifikasi, memberikan kesan modern, meskipun tetap mempertahankan ketinggian sekitar tiga meter.

Mardini (58) berdiri di teras rumah panggungnya di Soppeng. Kayu-kayu tua telah berganti beton, tapi jiwanya tetap sama. “Dulu ayahku selalu berkata, tiga meter itu jarak yang sempurna,” kenangnya sambil menatap kolong rumah yang kini menjadi tempat cucu-cucunya bermain. “Jauh dari banjir, aman dari binatang, dan… lebih dekat ke langit.”

Kepala Program Studi Pendidikan Sejarah di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar, Bustan, menjelaskan bahwa rumah panggung di Sulsel memiliki filosofi yang dalam. Ia tahu betul bahwa rumah-rumah ini adalah buku sejarah yang hidup.

“Rumah panggung terbagi menjadi tiga bagian: atas, tengah, dan bawah. Ini mencerminkan kosmologi alam semesta, di mana dunia atas dihuni oleh dewa-dewa langit, dunia tengah oleh manusia, dan dunia bawah oleh dewa-dewa laut,” ujarnya.

Setiap suku di Sulsel memiliki karakteristik rumah panggung yang unik. Misalnya, rumah adat Suku Bugis terbuat dari berbagai jenis kayu dengan atap berbentuk pelana. Timpalaja, yaitu bidang segitiga antara dinding dan atap, menjadi penanda status sosial pemilik rumah. Ada dua jenis rumah Bugis: Saoraja untuk kalangan bangsawan dan Bola untuk masyarakat umum, meskipun keduanya memiliki unsur yang sama.

Rumah Adat Balla Lompoa Makassar

Sementara itu, rumah adat Makassar dikenal dengan nama Balla. Seperti rumah adat lainnya, Balla juga merupakan tempat tinggal bagi para bangsawan. Rumah ini memiliki arsitektur yang dibagi menjadi tiga bagian: atap, inti rumah, dan kolong. Balla ditopang oleh sepuluh tiang penyangga dan memiliki ketinggian sekitar tiga meter, memberikan ruang yang luas di dalamnya. Ruang terasnya disebut dego-dego, sementara ruang tamunya dikenal sebagai paddaserang dallekang.

Rumah adat Suku Toraja, yang dikenal sebagai tongkonan, juga memiliki keunikan tersendiri. Tongkonan banyak ditemukan di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Nama “tongkonan” berasal dari kata “tongkon,” yang berarti tempat duduk. Rumah ini berfungsi sebagai tempat berkumpul untuk membahas upacara adat dan ritual kebudayaan lainnya. Ciri khas tongkonan adalah atapnya yang menyerupai perahu, menjuntai ke atas, dan sering dihiasi dengan patung kepala kerbau.

Meskipun rumah adat di Sulsel memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, keberadaannya kini mulai berkurang. Banyak rumah adat yang telah dimodifikasi atau bahkan diganti dengan bangunan modern.

Budayawan Amirullah Amir dari Universitas Hasanuddin Makassar menambahkan bahwa rumah adat Tongkonan di Toraja masih eksis karena dijadikan sebagai potensi wisata. “Pemeliharaan Tongkonan difasilitasi oleh lembang, berbeda dengan rumah adat di daerah lain yang dikelola secara pribadi,” jelasnya.

“Kita kehilangan banyak Balla dan Saoraja. Tapi di Toraja tetap berdiri gagah. Mereka beruntung, rumah-rumah mereka bukan sekadar tempat tinggal, melainkan jiwa dari setiap ritual,” sambung Amirullah

Untuk melestarikan rumah adat, Bustan menekankan pentingnya pendidikan. “Perlu ada penguatan di sekolah untuk memberikan pemahaman tentang sejarah dan budaya lokal kepada siswa, agar mereka memahami pentingnya melestarikan warisan budaya sejak dini,” tutupnya.

Dengan memahami dan melestarikan rumah adat, kita tidak hanya menjaga warisan nenek moyang, tetapi juga memperkuat identitas budaya Sulawesi Selatan yang kaya dan beragam.