MAKASSAR, SULSEL — Reformasi dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Masukan Akademisi untuk Revisi Regulasi Pemilu di Indonesia” yang digelar di Kampus FISIP Universitas Hasanuddin, Selasa (22/7/2025).
Prof. Gustiana A. Kambo, dalam pemaparannya menekankan, pemilu yang adil tidak akan terwujud tanpa penyelenggara yang profesional dan independen. Menurutnya, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus direkrut melalui mekanisme terbuka, bebas dari intervensi partai politik, dan idealnya berlatar belakang ilmu politik.
“Jika kita ingin pemilu yang berintegritas, maka penyelenggaranya harus paham betul terhadap sistem dan filosofi demokrasi elektoral, bukan sekadar administrasi teknis,” tegasnya.
FGD ini dihadiri oleh sejumlah akademisi Ilmu Politik Unhas, perwakilan The Asia Foundation, serta mahasiswa dari jenjang S1 hingga S3. Diskusi berlangsung dinamis dan dipandu oleh moderator Haryanto.
Isu lain yang mencuat dalam diskusi datang dari Prof. Armin Arsyad, yang mendorong peningkatan standar kualitas calon legislatif dan eksekutif. Ia mengusulkan syarat pendidikan minimal bagi kandidat, S3 untuk presiden dan DPR RI, S2 untuk gubernur dan DPRD provinsi, serta S1 untuk bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota.
“Pemimpin yang kuat harus lahir dari kapasitas intelektual dan integritas moral. Calon juga wajib bebas dari kasus korupsi dan mengikuti pelatihan pemerintahan jika bukan berasal dari disiplin sosial-politik,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa partai politik perlu membuka konvensi dan menyerap aspirasi publik secara terbuka dalam proses penjaringan calon.
Sementara Andi Ali Armunanto, menyoroti tantangan baru dalam kampanye politik yang kini bergeser ke ranah digital. Ia menekankan pentingnya regulasi tegas terhadap penggunaan media sosial dan kecerdasan buatan (AI) dalam kampanye pemilu.
“Kita menghadapi era kampanye yang bisa dimanipulasi oleh algoritma dan teknologi. Tanpa pengawasan, ini akan menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi,” katanya.
Masukan krusial juga disampaikan oleh mantan Komisioner KPU Makassar, Endang Sari. Ia menyoroti potensi ketimpangan masa jabatan legislatif jika pemilu nasional dan daerah dipisah. “Perlu ada pengaturan agar tidak ada legislator yang menjabat lebih dari lima tahun karena jadwal pemilu yang tidak serentak,” jelasnya sembari menggarisbawahi lemahnya definisi kampanye dalam regulasi saat ini yang rawan disalahgunakan.
Seluruh rumusan dari FGD ini akan dibawa ke Workshop Nasional bertajuk “Mewujudkan Pemilu yang Adil dan Representatif” yang akan digelar Selasa, 29 Juli 2025. Workshop ini akan dihadiri oleh Wakil Menteri Dalam Negeri RI dan menjadi momentum penting penyampaian aspirasi kampus terhadap pembuat kebijakan.