MAKASSAR, SULSEL – Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan pada Kamis (10/7/2025), terkait polemik tambang emas di Kabupaten Sinjai, berakhir tanpa hasil. Pasalnya, pihak perusahaan tambang, PT Trinusa Resort, tidak menghadiri rapat yang seharusnya menjadi momentum pengambilan keputusan.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Aan Nugraha, menyatakan bahwa ketidakhadiran PT Trinusa menghambat pengambilan kesimpulan dan pengeluaran rekomendasi resmi dari komisi. “Pihak pengusaha dan penambang tidak hadir, sehingga kami belum bisa mengambil kesimpulan. Bahkan, kami belum melihat dokumen perusahaan,” katanya.

Karena itu, Komisi D berencana menjadwalkan ulang RDP dengan menghadirkan PT Trinusa, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai, Sulawesi Selatan, serta perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat (AMPERA).

Aan menyayangkan sikap perusahaan yang sama sekali tidak memberikan konfirmasi atas ketidakhadirannya. Padahal, sebelumnya mereka telah menyatakan akan hadir. “Tidak ada alasan jelas kenapa tidak datang. Sudah dikonfirmasi akan hadir, tapi tidak merespons telepon staf kami. Jika diundang secara resmi oleh institusi, mestinya hadir sebagai bentuk penghargaan,” tegasnya.

Ia menyebutkan, berdasarkan informasi yang beredar, PT Trinusa telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) sejak 2013 yang berlaku hingga 2033. Namun, kejelasan dokumen pendukung lainnya seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum bisa dipastikan.

Dalam forum tersebut, perwakilan dari Pemkab Sinjai menyampaikan perlunya klarifikasi mengenai aktivitas pengambilan sampel di lokasi tambang yang disebut-sebut sebagai alasan awal aktivitas di lapangan.

“Kami perlu memperjelas, apa bentuk sampel yang dimaksud? Apakah hanya sebatas tanah dalam wadah kecil, atau justru dalam jumlah besar seperti satu truk? Berdasarkan data kami, tidak ada pengambilan sampel dalam skala besar,” ujar perwakilan tersebut.

Pemkab juga mengonfirmasi bahwa dokumen RTRW Kabupaten Sinjai saat ini masih dalam tahap revisi. Dalam versi sebelumnya, lokasi tambang tidak termasuk dalam wilayah yang diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan.

Sementara itu, Afandi dari AMPERA menegaskan bahwa penolakan terhadap aktivitas tambang berasal dari kekhawatiran masyarakat atas potensi dampak lingkungan dan minimnya transparansi perizinan. “Proses ini panjang, dimulai sejak 2010. Awalnya ada PT Galena yang mengantongi izin seluas sekitar 24 hektare. Kami sejak awal sudah menyuarakan penolakan,” kata Afandi.

Ia menambahkan, meski perusahaan sempat menyatakan mundur pada 2013, belakangan masyarakat mengetahui bahwa proses eksplorasi tetap berjalan secara diam-diam, termasuk pengambilan sampel tanah oleh pihak tertentu.

Afandi menyoroti lemahnya pengawasan dan keterbukaan dari Pemkab Sinjai, yang menurutnya menimbulkan konflik dan keresahan di masyarakat.

“Harus ada kejujuran dari pemerintah. Jangan sampai masyarakat merasa dibohongi. Kalau dari awal semuanya terbuka, tidak akan muncul kegaduhan seperti sekarang,” tegasnya.

Dengan belum hadirnya pihak perusahaan dalam RDP ini, polemik tambang emas di Sinjai masih jauh dari titik temu dan penyelesaian yang konkret. Komisi D berharap agenda lanjutan dapat menghadirkan seluruh pihak terkait demi mencapai keputusan yang adil dan transparan.