Rastranews.id, Makassar – Rencana pemerintah pusat memangkas dana Transfer Keuangan Daerah (TKD) pada 2026 menuai protes dari 17 gubernur di Indonesia.

Namun, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Sangkala, menilai kebijakan tersebut justru memiliki efek jangka panjang yang positif.

Menurutnya, kebijakan pemangkasan TKD adalah langkah strategis untuk mendorong pemerintah daerah lebih kreatif dan tidak bergantung pada dana pusat.

“Kebijakan Kementerian Keuangan ini memiliki efek jangka panjang yang positif. Motif kepala daerah untuk maju harus berubah. Jangan lagi karena ingin ‘bermain’ dengan anggaran,” ujar Prof. Sangkala saat diwawancarai, Selasa (14/10/2025).

Ia menjelaskan, kondisi ekonomi nasional yang melambat, ditambah beban utang negara yang meningkat, membuat pemerintah pusat terpaksa melakukan pengetatan fiskal.

“Periode pemerintahan Presiden Prabowo ini memang membebani APBN cukup besar. Ekonomi melambat, utang menumpuk, jadi pemerintah harus menekan belanja,” ungkapnya.

Namun, ia menilai situasi ini justru menjadi momentum perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.

Dengan anggaran terbatas, hanya kepala daerah yang memiliki kemampuan dan integritas yang mampu bertahan.

“Dengan kondisi anggaran yang terbatas, hanya kepala daerah yang kreatif dan punya kualitas yang bisa bertahan. Bukan sekadar punya modal besar,” tegasnya.

Prof. Sangkala bahkan berpendapat, jika kebijakan ini berlangsung selama lima tahun, dampaknya bisa menyaring calon pemimpin daerah yang benar-benar berkualitas.

“Menurut saya, lima tahun dengan kebijakan begini. Jangan kasih banyak dana ke daerah, supaya kepala daerah berpikir. Kalau mau jadi kepala daerah untuk apa? Sehingga nanti bisa masuk orang-orang yang berkualitas, yang tidak punya modal besar tapi cerdas,” katanya.

Meski demikian, ia tak menampik bahwa masyarakat di daerah akan merasakan dampak langsung dari pengurangan dana transfer ini.
Namun di sisi lain, situasi tersebut bisa memaksa pemerintah daerah lebih selektif dalam menentukan program prioritas.

“Satu sisi memang yang dirugikan masyarakat, tapi sisi baiknya daerah dipaksa berinovasi. Selama ini banyak program tidak tepat sasaran. Dengan anggaran terbatas, pemerintah daerah harus lebih teliti menentukan program apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat,” jelasnya.

Guru Besar FISIP Unhas ini pun berharap kebijakan pemangkasan dana transfer ini tidak hanya dipandang sebagai beban fiskal, tetapi juga sebagai momentum membangun kemandirian daerah.

“Saya justru berharap kebijakan ini berlangsung agak lama, supaya minat orang menjadi kepala daerah benar-benar karena ingin membangun, bukan karena melihat peluang ekonomi,” tutupnya.

Sebelumnya dikabarkan ada 17 Gubernur yang menghadap kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Mereka menyatakan keberatan atas rencana pemotongan anggaran daerah.

Dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) bersama Menkeu di Kantor Kementerian Keuangan RI, Jakarta, Gubernur Sulsel Andi Sudirman menyampaikan sejumlah masukan strategis untuk memperkuat efektivitas penyaluran dana pusat ke daerah.

Ia menekankan pentingnya pemerataan pembangunan, terutama pada sektor pendidikan dan infrastruktur jalan di wilayah yang masih tertinggal.

“Kami menyampaikan kepada Bapak Menteri agar pusat memberi perhatian khusus bagi daerah-daerah yang masih tertinggal, terutama terkait sekolah dan akses jalan,” ujarnya.

Pertemuan itu dihadiri para Gubernur anggota APPSI untuk membahas Dana Transfer Keuangan Daerah (TKD) 2026 serta arah kebijakan strategis nasional dalam mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Sikap senada disampaikan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda. Ia menegaskan seluruh Gubernur menolak rencana pemotongan dana transfer pusat ke daerah tersebut.

“Semuanya (kepala daerah) tidak setuju karena ada beban PPPK yang cukup besar dan ada janji pembangunan jalan dan jembatan. Dengan pemotongan yang rata-rata setiap daerah hampir 20–30 persen, itu berat untuk infrastruktur,” kata Sherly.

Sherly mencontohkan, daerahnya pada 2025 menerima dana transfer sebesar Rp 10 triliun lebih, namun pada 2026 jumlahnya akan turun menjadi Rp 6,7 triliun.

“Jadi kita dipotong Rp3,5 triliun. Potongan terbesar ada di DBH, sampai 60 persen. Kami semua sudah menyuarakan pendapat kepada Pak Menteri Keuangan agar dipertimbangkan, karena transfer pusat ini hanya cukup untuk belanja rutin,” bebernya.

Ia menambahkan, pemotongan tersebut akan berdampak langsung pada belanja infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan jembatan. Karena itu, para Gubernur meminta agar kebijakan itu ditinjau kembali.

“Pak Menteri Keuangan akan mencari solusi terbaik agar pertumbuhan ekonomi di daerah tetap jalan dan stabil,” tambahnya. (MA)