MAKASSAR, SULSEL – Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan harus berpijak pada prinsip keadilan sosial. Dalam skema ini, nelayan kecil dibebaskan dari kewajiban PNBP, sementara pelaku usaha perikanan besar wajib membayar.
Penegasan ini disampaikan Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Komjen (Purn) Lotharia Latif, dalam Pertemuan Tahunan Unit Pengelola Perikanan WPPNRI 713, 714, dan 715, di Gedung Iptek Universitas Hasanuddin, Makassar, Rabu (16/7/2025).
Menurutnya, sebanyak 65% nelayan di Indonesia adalah nelayan kecil, dan mereka tidak dikenai PNBP. “Justru mereka kita bantu dan berdayakan. Sebaliknya, 35% nelayan usaha besar wajib bayar sebagai kontribusi kepada negara,” ujarnya.
Latif menjelaskan, nelayan besar yang tidak membayar PNBP akan berdampak langsung pada terbatasnya ruang fiskal negara dalam mendukung program subsidi dan pemberdayaan nelayan kecil. “Yang besar harus bayar. Kalau tidak, negara tidak punya cukup fiskal untuk bantu nelayan kecil,” jelasnya.
Latif juga menyoroti pentingnya pencatatan dan pengawasan yang akuntabel terhadap aktivitas penangkapan ikan. Praktik illegal fishing, transshipment ilegal, hingga laporan fiktif dinilai merugikan negara dan menghambat tercapainya keadilan fiskal.
“PNBP yang bocor artinya subsidi dan bantuan kita juga ikut terbatas. Semua harus transparan,” tambahnya.
Ia pun mendorong pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk berperan lebih aktif dalam pendataan, pengawasan, dan pengelolaan kuota tangkap.
“Pusat tidak bisa bekerja sendiri. Pemda adalah mitra penting untuk memastikan siapa yang wajib bayar dan siapa yang harus dibantu,” pungkasnya.