Rastranews.id, Makassar – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) pada lembaga legislatif.
Seperti halnya pada kuota partisipasi Pemilu, keterwakilan figur perempuan pada AKD juga ditetapkan sebanyak 30 persen.
Pengamat Politik dari Universitas Hasanuddin, Endang Sari, menilai putusan MK ini merupakan langkah maju bagi penguatan representasi perempuan dalam politik Indonesia.
Menurutnya, keputusan tersebut menjadi momentum penting bagi perempuan untuk menempati posisi strategis di lembaga legislatif.
“Dengan duduk di AKD dan posisi pimpinan, perempuan punya posisi kelembagaan yang kuat. Ini pasti akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan,” kata Endang, saat dihubungi, Jumat (31/10/2025).
Endang menyebut, kehadiran perempuan di AKD maupun jajaran pimpinan bukan hanya simbolis, tetapi akan berdampak langsung terhadap arah kebijakan yang lebih inklusif.
Karena itu, ia menyambut baik langkah MK yang dinilainya sebagai angin segar bagi perjuangan kesetaraan politik di Indonesia.
Meski demikian, ia menegaskan masih ada tantangan besar di tubuh partai politik yang harus dibenahi. Salah satunya, soal demokratisasi internal dan proses kaderisasi politik perempuan.
“Partai adalah satu-satunya saluran untuk mencalonkan anggota legislatif. Jadi harus dipastikan bahwa perempuan yang diajukan memang melalui proses kaderisasi politik yang matang,” jelasnya.
Dosen Ilmu Politik FISIP ini menilai, masih banyak partai yang belum serius mendorong kader perempuan terbaik untuk maju ke politik elektoral.
Ia menyebut, sebagian besar partai masih memilih calon perempuan berdasarkan tiga hal, yakni modal finansial, kedekatan dengan elite kekuasaan, atau popularitas.
“Biasanya partai mengusung perempuan karena punya uang, dekat dengan kekuasaan, atau terkenal. Nah, pola seperti ini harus diubah,” tegasnya.
Ia berharap partai politik mulai mengubah paradigma dalam rekrutmen kader perempuan agar tidak sekadar memenuhi kuota 30 persen, tetapi benar-benar mencetak pemimpin yang memiliki kapasitas membawa aspirasi dan kepentingan perempuan.
Khusus untuk wilayah Sulawesi Selatan, Endang menilai kondisi keterwakilan perempuan di DPRD sejauh ini relatif baik.
Ia mencontohkan sejumlah tokoh perempuan di DPRD Sulsel maupun DPRD Kota Makassar yang berhasil menembus posisi pimpinan setelah melalui proses kaderisasi panjang.
“Kita tahu Ibu Andi Ina di Partai Golkar, dan Ibu Cicu di Partai NasDem. Mereka bukan kader instan, tapi hasil proses panjang di partainya masing-masing,” ujar Endang.
Ia berharap pola serupa dapat ditiru di tingkat kabupaten dan kota lainnya di Sulsel agar kuota 30 persen perempuan benar-benar diisi oleh kader yang memiliki kapasitas dan komitmen terhadap perjuangan politik perempuan.
“Harapannya, keterwakilan perempuan di AKD nanti diisi oleh kader-kader terbaik yang bisa membawa aspirasi perempuan dan memperjuangkan kepentingan publik secara substantif,” tutupnya.(JY)

