Rastranews.id, Makassar – Prof. Erwin Akib resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-28 Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
Dalam orasi ilmiahnya, ia mengungkap temuan mengejutkan dari survei terhadap 199 guru, yang menunjukkan lemahnya penerapan penilaian kritis dan pemanfaatan teknologi digital dalam proses evaluasi siswa.
Pengukuhan Erwin Akib, sebagai Guru Besar bidang Pendidikan Bahasa Inggris berlangsung dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa di Balai Sidang Muktamar ke-47 Kampus Unismuh, Senin (6/10/2025).
Acara yang dipimpin langsung Rektor Unismuh, Dr. Abd Rakhim Nanda, ini dimulai dengan pembacaan riwayat hidup dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dilanjutkan dengan penyerahan SK dan pengalungan selempang guru besar oleh Ketua Dewan Guru Besar Unismuh, Prof. Irwan Akib.
Dalam orasi ilmiahnya bertajuk “Penilaian Kritis: Implementasi Pendekatan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) untuk Penilaian di Indonesia”, Prof. Erwin menegaskan bahwa esensi pendidikan terletak pada hubungan manusiawi antara guru dan murid, bukan sekadar angka.
“Asesmen bukan sekadar alat ukur hasil belajar, melainkan ruang refleksi dan pertumbuhan bersama,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei terhadap 199 guru Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, Prof. Erwin memaparkan peta kekuatan dan kelemahan praktik penilaian saat ini.
Guru-guru dinilai kuat dalam membangun kemitraan dengan orang tua dan kolaborasi pembelajaran, namun masih lemah dalam menerapkan pertanyaan reflektif ala Socrates, rubrik berpikir kritis, serta pemanfaatan teknologi digital.
“Hanya sekitar 25% guru yang menggunakan dasbor data siswa untuk memantau perkembangan, dan hanya 20% yang pernah memfasilitasi konferensi video lintas negara,” paparnya.
Data ini, baginya, adalah “panggilan etis” untuk memperbaiki ekosistem pendidikan.
Prof. Erwin Akib menjelaskan alasan mendalam di balik fokus penelitiannya. Ia menyoroti kebijakan Kementerian Pendidikan yang mendorong pembelajaran mendalam (deep learning), yang memerlukan strategi penilaian yang sesuai.
“Strategi pembelajar harus didukung oleh penilaian yang menilai secara proses, bukan hanya menilai dari awal sampai akhir,” tegas Prof. Erwin.
Ia mengkritik dinamika pendidikan saat ini yang cenderung melihat penilaian dari satu aspek semata.
“Orang hanya melihat satu aspek dalam menilai, seringkali hanya menilai aspek sikap dan kognitif. Padahal, penting untuk menilai aspek sikap dan skill-nya. Penilaian tiga ranah, afektif, psikomotorik, dan kognitif, secara holistik harus dilakukan bersama,” lanjutnya.
Prof. Erwin adalah pendukung kuat konsep asesmen full learning yang harus diterapkan secara merata di Indonesia.
Menurutnya, dalam konteks pembelajaran mendalam, keterkaitan antara proses penilaian dan pembentukan kompetensi siswa semakin erat.
Merespons pertanyaan tentang penilaian sikap, Prof. Erwin menyatakan kesepakatannya. “Saya sangat setuju memang anak-anak perlu dinilai sikap menyenangkan. Saya yakin itu bisa terjadi. Penilaian sikap yang positif adalah bagian integral dari menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan memanusiakan.” (HL)