Rastranews.id, Makassar – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang 2025 dinilai berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Pengamat ekonomi Sutardjo Tui menyebut, hampir 2.500 pekerja yang kehilangan pekerjaan tahun ini akan menimbulkan dampak lanjutan yang jauh lebih luas, terutama pada daya beli rumah tangga dan aliran uang di masyarakat.

Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga Desember 2025 terdapat 2.486 kasus PHK di Sulsel, naik tajam dibanding 2024 yang hanya 126.

Sektor pertambangan menjadi penyumbang terbesar, dengan lebih dari 30 persen kasus karena penurunan permintaan nikel di pasar global dan melemahnya produksi.

Menurut Sutardjo, penurunan harga komoditas membuat perusahaan kehilangan kemampuan mempertahankan tenaga kerja.

“Kalau harga naik turun, berarti perusahaan tidak begitu mampu mempertahankan kuota. Kalau tidak mampu, mereka mengurangi biaya. Salah satu biaya yang dikurangi adalah biaya SDM. Itu di sektor pertambangan,” bebernya, Rabu (10/12/2025).

Dosen di Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) Makassar ini memperkirakan efek lanjutan dari PHK bisa menyentuh puluhan ribu orang.

“Itu kalau masing-masing punya dua anak dan satu istri, berarti total terdampak sekitar 10.000 orang. Itu berat. Kalau 10.000 orang kehilangan pendapatan, misalnya satu keluarga biasanya berputar sekitar 3,5 juta per bulan, berarti banyak uang yang berhenti berputar di masyarakat. Akibatnya perekonomian makin melemah,” urainya.

Selain pertambangan, sektor pariwisata dan perhotelan juga mengalami tekanan akibat efisiensi anggaran pemerintah.

Minimnya kegiatan pemerintahan di hotel sejak awal tahun menyebabkan banyak pekerja dirumahkan.

Sutardjo menilai pemerintah perlu lebih sigap membaca perubahan pasar dan mengidentifikasi sektor-sektor yang masih memiliki peluang pertumbuhan.

“Pemerintah seharusnya selalu mengantisipasi. Kan masih banyak sektor-sektor lain, seperti pertanian, perikanan, kemudian industri pariwisata, dan lain-lain. Masih banyak peluang bisnis,” katanya.

Untuk meredam efek PHK, ia mendorong pemerintah memperkuat pendampingan terhadap UMKM.

Menurutnya, pekerja yang kehilangan pekerjaan dapat bertahan melalui usaha mandiri jika akses modal dan pasar disediakan.

“Masalahnya, orang yang kena PHK itu biasanya menghadapi dua hal, tidak punya modal dan tidak punya jaringan. Keduanya harusnya bisa disediakan pemerintah. Modal ada (KUR) dengan bunga sekitar 6 persen per tahun. Jaringan pasar juga bisa disiapkan,” tandasnya.

Lebih jauh, bagi Sutardjo, kunci utama permasalahan ini tetap pada kebijakan yang mampu memperkuat daya tahan rumah tangga dan memacu sektor-sektor produktif.

Tanpa itu, lonjakan PHK akan terus menjadi ancaman bagi ekonomi Sulsel.

Sebelumnya, pemerintah provinsi Sulsel sendiri mengakui bahwa situasi PHK tahun ini dipicu banyak faktor.

Kepala Disnakertrans Sulsel, Jayadi Nas, menyebut efisiensi perusahaan, alih teknologi, perpindahan lokasi usaha, hingga berakhirnya kontrak turut memengaruhi angka PHK.

Ia menegaskan langkah mitigasi tengah disiapkan, termasuk penambahan bursa kerja dan peningkatan pelatihan bagi tenaga kerja.

Pemerintah pun menargetkan empat kali job fair pada tahun 2026, meningkat tahun ini yang dilakukan hanya tiga kali.

“Selain bursa kerja, kami juga terus meningkatkan pelatihan dan peningkatan skill para usia kerja,” ujar Jayadi.

Diketahui, angka PHK di Sulsel melambung tinggi sepanjang tahun ini.

Hingga Desember, tercatat 2.486 pekerja di berbagai sektor kehilangan pekerjaan, menjadikan angka itu naik berkali lipat dibanding 2024 yang hanya mencatat 126 kasus.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan Sulsel berada pada posisi ke-6 nasional untuk jumlah PHK terbanyak tahun ini.

Industri pertambangan menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi lebih dari 30 persen.

Penurunan permintaan nikel di pasar global dan melemahnya aktivitas produksi membuat perusahaan mengurangi tenaga kerja secara signifikan. (MA)