Rastranews.id, Jakarta – Pemerintah berencana meningkatkan kadar campuran etanol dalam bahan bakar bensin dari 3,5 persen menjadi 10 persen (E10) dalam tiga tahun ke depan.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi transisi energi hijau sekaligus upaya mengurangi impor bahan bakar fosil.
Selain itu, program ini diharapkan membuka lapangan kerja baru dan memperkuat ekonomi daerah melalui pengembangan energi terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, kebijakan mandatori E10 merupakan bagian dari upaya menuju kemandirian energi dan pengurangan emisi karbon.
Ke depan Indonesia akan kita dorong mandatori menjadi E10. Artinya kita wajibkan memakai etanol 10 persen,” kata Bahlil.
Namun, rencana ini memunculkan sejumlah pertanyaan di masyarakat terkait ketersediaan bahan baku, kesiapan mesin kendaraan, hingga potensi kenaikan harga BBM.
Pemerintah pun memastikan kebijakan ini dirancang matang agar tidak menambah beban bagi publik.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menjelaskan, kebijakan pencampuran bahan bakar nabati sudah berjalan sejak 2008 dan diperkuat dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2023.
“Kita sudah mulai trial market E5, dan sekarang akan ditingkatkan bertahap menuju E10. Saat ini ada 13 perusahaan yang bisa memproduksi bioetanol, namun baru tiga yang siap untuk kebutuhan bahan bakar,” ujar Eniya.
Produksi dari tiga perusahaan tersebut baru mencapai 63 ribu kiloliter per tahun.
Untuk mendukung mandatori E10, kapasitas harus ditingkatkan hingga 400 ribu kiloliter.
Pemerintah menargetkan pembangunan 18–20 pabrik bioetanol baru dalam tiga tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan nasional sekaligus menyerap tenaga kerja lokal. (MA)