Rastranews.id – Di tengah derasnya serial baru yang berlomba-lomba menembus persaingan dunia streaming, Adolescence justru melaju dengan tenang dan memikat.
Diciptakan oleh Stephen Graham dan Jack Thorne, serial orisinal Netflix ini menjadi bahan perbincangan luas, bukan hanya karena kualitas sinematiknya, tapi juga karena keberaniannya menyentuh topik sensitif, kekerasan remaja dan toksisitas internet.
Salah satu daya tarik terbesarnya datang dari sosok yang tidak terduga, seorang remaja 15 tahun bernama Owen Cooper.
Cooper, dalam debut layarnya, menampilkan akting yang begitu mencengangkan sebagai Jamie Miller, remaja 13 tahun yang dituduh membunuh teman sekelasnya.
Perannya begitu kuat dan emosional, hingga kini membawanya mencetak sejarah sebagai nominee termuda dalam kategori Aktor Pendukung Terbaik dalam Serial atau Film Terbatas atau Antologi di ajang Emmy Awards. Dikutip dari movieweb Cooper disebut memecahkan rekor yang sudah bertahan sejak tahun 1972.
Rekor itu sebelumnya dipegang Scott Jacoby, yang memenangkan Emmy pada usia 16 tahun lewat film televisi That Certain Summer. Film ini adalah tonggak sejarah penting bagi representasi queer dalam televisi, dengan kisah yang menyentuh soal ayah yang menjalin hubungan sesama jenis dan anaknya yang berusaha menerima kenyataan itu.
Kini, lebih dari lima dekade kemudian, tongkat estafet itu tampaknya telah jatuh ke tangan Cooper, dalam konteks zaman yang berbeda, dengan isu yang tak kalah menggugah.
“Adolescence” dan Transformasi Jamie
Cooper tidak sekadar hadir di Adolescence, ia menjadi pusat gravitasi cerita. Karakter Jamie dimulai sebagai sosok remaja biasa, bahkan agak lembut.
Tapi di balik wajah polos itu, bersembunyi sisi kelam yang pelan-pelan diungkap, dimulai dari akhir episode pertama, ketika polisi mulai mengepungnya. Sejak saat itu, serial ini mengajak kita mempertanyakan: bagaimana anak dari keluarga hangat dan suportif bisa berubah menjadi pelaku kejahatan?
Jawaban mulai terkuak di Episode 3, saat Jamie menjalani evaluasi psikologis dengan Briony (Erin Doherty), dalam drama dua babak yang mencekam. Percakapan antara keduanya begitu intens dan dalam, membawa penonton masuk ke ruang jiwa Jamie, tempat di mana kerapuhan, kemarahan, dan manipulasi bercampur jadi satu.
Akhir dari episode ini adalah pukulan paling telak. Jamie mengaku mengajak Katie sang korban berkencan, bukan karena cinta, tapi karena ingin “mengontrol” situasi usai merasa dipermalukan. Ketika Katie menolak dan komentar kejam di media sosial mulai muncul, Jamie membalas dengan kekerasan.
Yang paling menyakitkan, tak ada penyesalan, tak ada rasa bersalah. Jamie tidak pernah benar-benar melihat Katie sebagai manusia utuh, hanya sebagai alat untuk menyembuhkan egonya yang terluka.
Mengapa Emmy Award untuk Cooper Bukan Sekadar Layak, Tapi Perlu?
Apa yang membuat Cooper begitu menggetarkan bukan hanya karena ia muda. Tapi karena ia mampu memainkan tarik-ulur emosi penonton, dari simpati, ke ngeri, lalu ke rasa iba yang rumit. Adolescence tidak menyederhanakan masalah. Jamie bukan monster, tapi juga bukan korban sepenuhnya. Ia adalah produk dari era digital yang serba terbuka namun penuh jebakan.
Cooper memikul beban berat, membuat karakter yang telah melakukan hal mengerikan tetap manusiawi, tetap membuat kita bertanya-tanya. Apakah ini bisa dicegah? Di tangan aktor yang salah, Jamie bisa menjadi karikatur. Tapi di tangan Cooper, Jamie menjadi cermin yang mungkin tak ingin kita lihat.
Ia bersaing dengan nama-nama besar seperti Javier Bardem, Bill Camp, dan Ashley Walters. Tapi jangan salah, Cooper bukan pengisi pelengkap nominasi. Ia adalah bintang yang sedang naik, dan siapa pun yang menyaksikan Adolescence tak akan ragu soal itu.
Menang atau tidak, Owen Cooper telah mencatatkan namanya di sejarah Emmy Award, dan lebih penting lagi, di hati jutaan penonton. Ia membuktikan bahwa usia hanyalah angka, dan bahwa kadang, dari jiwa termuda bisa lahir penampilan paling tua dan paling dalam. Sebuah permata yang baru ditemukan, dan kini bersinar terang.