Rastranews.id, Makassar – Kasus rudapaksa terhadap anak kandung kembali memantik perhatian publik di Sulawesi Selatan (Sulsel).

Seorang ayah kandung berinisial MA (38) menyetubuhi anak kandungnya sendiri, SA (15), sejak korban masih berusia tujuh tahun.

Kasus ini pun menuai perbincangan hangat di tengah masyarakat, hingga muncul pertanyaan tentang bagaimana nanti nasab anak korban rudapaksa tersebut,

Dari perspektif hukum Islam, anak hasil hubungan terlarang semacam ini tidak memiliki hubungan nasab dengan pelaku.

Hal ini dijelaskan oleh Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Prof. Muhammad Muammar Bakry.

“Kalau dalam fikih, kepada laki-laki yang tidak halal, apalagi ada hubungan darah, anak itu adalah anak ibunya, nasabnya tidak boleh dikaitkan dengan ayah (kandung korban rudapaksa),” jelas Prof. Muammar, Senin (6/10/2025).

Guru Besar Bidang Hukum Islam Kontemporer UIN Alauddin Makassar ini menegaskan, pelaku seharusnya mendapat hukuman seberat-beratnya.

“Sebaiknya bisa berlapis pasal yang dikenakan. Pertama, karena melakukan tindakan pemaksaan. Kedua, karena melakukan tindakan perzinahan,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa dalam konsep fikih klasik, pelaku bahkan bisa diasingkan dari masyarakat untuk menjaga ketertiban sosial.

“Dalam fikih dikenal istilah taghrīb, yaitu dibuang atau diasingkan. Tapi dalam konteks Indonesia, tentu kita merujuk pada undang-undang yang berlaku,” jelasnya.

Menurutnya, pelaku pemerkosaan anak kandung seharusnya dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari kekerasan seksual terhadap anak hingga tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. (MA)