Makassar – Potensi rumput laut yang begitu besar di Sulawesi Selatan (Sulsel) sudah lama jadi perhatian dunia. Sayangnya, proses budidaya belum ramah lingkungan karena masih mengandalkan pelampung botol plastik (bekas air minum kemasan).
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk mengatasi permasalahan ini semakin menguat. Pelampung kayu “Mori-Umi Float” yang dikembangkan bersama oleh Federasi Koperasi Kehutanan Nasional (Zenshinren), Federasi Koperasi Perikanan Nasional (Zengyoren), Benichu Co., Ltd., serta Kanematsu Sustech Co., Ltd., kini sedang berusaha diperkenalkan dan diimplementasikan di Sulsel oleh organisasi Jepang Asia Livelihood Network (ALN) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Universitas Hasanuddin (UNHAS), Pemerintah Kabupaten Sinjai, LSM lingkungan MACCA Institute, serta SMKN 4 Sinjai.
Pelampung kayu “Mori-Umi Float” yang dikirim dari Jepang tersebut telah diuji coba pada bulan Agustus 2025, di Kepulauan Sembilan, Kabupaten Sinjai. Hasilnya cukup menjanjikan, karena kini para warga mulai mencoba menggunakan pelampung tersebut secara mandiri.
Anggota oraganisasi Jepang Asia Livelihood Network (ALN), Fumiko Kawae, mengatakan kegiatan yang merupakan bagian dari proyek kerja sama internasional ini bertujuan melestarikan lingkungan laut sekaligus memperkuat perikanan yang berkelanjutan.
“Pelampung kayu yang digunakan dibuat dari kayu kiri (Paulownia) jenis cepat tumbuh dari Jepang. Pelampung ini ringan, punya daya apung tinggi, dan diproses dengan teknik pengeringan agar tahan lama di air laut,” ujarnya ditemui di Makassar, belum lama ini.

Fumiko mengungkapkan, didukung oleh JICA Fund for the People of the World, sebelumnya pada bulan November 2024, sebanyak 150 pelampung kecil dan 5 pelampung besar dikirim ke Kepulauan Sembilan dengan dukungan tim teknis dan produsen dari Jepang.
Di lapangan, tim pelaksana yang dipimpin oleh Arman Latif beserta para guru SMKN 4 Sinjai melakukan pemantauan langsung.
“Hasilnya menunjukkan bahwa pelampung kayu ini mampu memberikan daya apung yang cukup dan hasil panen pun tetap baik,” ungkapnya.
Lanjut Fumiko, pemantauan pun terus dilakukan untuk mengevaluasi daya tahan dan fungsi pelampung dalam jangka panjang.
Hasil sementara sudah menunjukkan potensi positif, sehingga bisa dijadikan dasar pengembangan selanjutnya.
Kemudian mulai Agustus 2025, pelampung kayu mulai diuji coba langsung oleh para pembudidaya rumput laut di Kepulauan Sembilan.
“Dengan menggunakan pelampung tersebut di lokasi budidaya dan rumpon (rumah ikan), para nelayan bisa merasakan langsung kegunaannya dan mengevaluasi kesesuaiannya di lapangan,” tukasnya.

Manfaatkan Pohon Lokal
Proyek ini mencerminkan semangat “model kolaborasi antara hutan dan laut”. Ke depannya kolaborasi ini ingin mendorong pembuatan pelampung kayu lokal dengan menggunakan jenis pohon ringan seperti kayu sengon dan kayu balsa yang tumbuh di Indonesia.
Erna, salah seorang Penyuluh UPTD KPH Pemprov Sulsel yang juga tergabung dalam proyek ini mengatakan, kedua jenis pohon tersebut memiliki karakteristik paling mendekati dari jenis kayu kiri yang dibawa dari Jepang.
“Untuk sengon sendiri potensinya cukup besar di Hutan Rakyat. Sedangkan yang balsa masih perlu kita dorong produksinya,” ujarnya.
Erna menyebut, pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemprov Sulsel sangat mendukung proyek ini. Bagaimanapun, kata dia, masyarakat memang sudah harus beralih ke model budidaya yang ramah lingkungan.
“Makanya kita mau berkolaborasi. Karena hutan punya potensi yang bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan laut dari sampah plastik,” cetusnya.
Perwakilan dari Macca Institute, Abdul Rahman mengatakan, penggunaan pelampung botol plastik adalah masalah yang sangat serius di tengah masyarakat pembudidya rumput laut karena hanya dapat digunakan 1 hingga 2 kali siklus budidaya.
Khusus di wilayah Kabupaten Sinjai, Kepulauan Sembilan saja, kata dia, botol yang digunakan sebagai pelampung bisa mencapai 1 juta dan semuanya akan berakhir menjadi sampah.
“Kenapa begitu? Karena kita melihat langsung botol-botol itu benar-benar ditinggalkan, bahkan memang sengaja dibuang ke laut,” ujarnya.
“Berdasarkan hal itu, MACCA Institute akhirnya terlibat dalam proyek ini dengan tujuan ingin mewujudkan blue ekonomi di tengah masyarakat,” pungkasnya.
Selain keingian-keinginan tersebut, proyek juga menjajaki model agroforestri bersama UPTD KPH Tangka DLH Pemprov Sulsel, Kawasan Madaya, MACCA Institute, serta pemerintah desa di Arabika dan Bontosalama.
“Tujuannya adalah mengembangkan sistem pasokan kayu yang berkelanjutan sambil meningkatkan nilai tambah hasil pertanian seperti kopi, kakao, dan lainnya,” kata perwakilan dari Kawasan Madaya, Ramli Usman, menambahkan.
Sementara itu, Peneliti Kelautan dan Perikanan Unhas, Ir. Andi Amri, mengatakan pihaknya melihat budidaya rumput laut adalah mata pencaharian terbesar masyarakat di pesisir dan termasuk yang menopang perekonomian Sulsel.
“Makanya yang berkaitan dengan sampah plastik di laut adalah masalah yang krusial harus diselesaikan. Untuk itu kami dari Unhas khususnya Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, terlibat dalam proyek ini,” ujarnya.
Dalam prosesnya, semua yang terlibat telah melakukan berbagai hal, mulai dari study hingga menggelar seminar. Begitupun mendengar banyak masukan dari praktisi yang ada di lapangan.
“Kami dari Unhas memang ada MoU untuk proyek ini dan selanjutnya berharap dapat dukungan penuh dari Pemprov Sulsel karena kami melihat proyek ini sangat baik, apalagi sudah ada uji lapangan kalau kayu bisa gantikan plampung plastik,” tuturnya.

Pemprov Sulsel Dukung Penuh
Tidak hanya DLH Pemprov Sulsel. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Sulsel juga sangat antusias dan ingin mendukung proyek pelampung kayu untuk budidaya rumput laut bisa berhasil.
Menurut Kepala Bidang Budidaya dan Penguatan Daya Saing DKP Sulsel, Suhartono Nurdin, rumput laut adalah salah satu komoditas unggulan yang dimiliki Sulsel. Produksinya lebih 40 persen dari produksi nasional.
Berdasarkan data 2024, kata dia, volume produksi rumput laut Indonesia atau Nasional sebanyak 9,78 juta ton. Sementara produksi rumput laut Sulsel sebanyak 4,02 juta ton dengan nilai mencapai Rp 6,75 triliun.
Untuk perikanan Sulsel sendiri, volume produksi sebanyak 4,83 juta ton dengan nilai mencapai Rp30,60 triliun.
“Artinya rumput laut ini adalah komoditas perikanan kita yang memang harus menjadi perhatian, termasuk memperhatikan proses budidaya yang modelnya harus ramah lingkungan,” ujarnya.
Dikatakan Suhartono, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman sangat peduli terkait rumput laut. Tahun ini saja, banyak bantuan seperti bibit dan pelampung kapsul terbuat dari bahan High Density Polyethylene (HDPE) yang diberikan kepada ribuan petani rumput laut di 15 Kabupaten/Kota di Sulsel.
Penggunaan pelampung kapsul ini dapat bertahan selama beberapa kali siklus budidaya, hanya saja belum sepenuhnya ramah lingkungan. Makanya Pemprov Sulsel antusias dan mendukung proyek pelampung kayu.

“Nah kalau proyek ini sudah berhasil, Pemprov nantinya bisa memberikan bantuan pelampung kayu tersebut kepada para petani. Terus nanti juga kita akan buatkan regulasinya, budidaya rumput laut harus ramah lingkungan,” tegas Suhartono. (AR)