MAKASSAR, SULSEL – Google berhasil mengubah lebih dari dua miliar ponsel Android di seluruh dunia menjadi jaringan peringatan dini gempa bumi. Dengan memanfaatkan sensor gerak di ponsel, sistem ini mampu mendeteksi gelombang seismik dan mengirimkan notifikasi kepada pengguna, bahkan sebelum guncangan utama terjadi.

Keberhasilan ini dipublikasikan dalam jurnal Science pada 17 Juli 2024, dan menunjukkan bahwa ponsel pintar bisa menjadi pelengkap efektif sistem seismik konvensional yang selama ini digunakan di negara maju.
Lebih dari 11.000 Gempa Terdeteksi

Melalui sistem Android Earthquake Alerts (AEA), Google mencatat telah mendeteksi lebih dari 11.000 gempa dan mengirimkan lebih dari 1.200 peringatan dini kepada pengguna Android di 98 negara, sepanjang periode 2021 hingga 2024. Teknologi ini bekerja dengan memanfaatkan accelerometer yang ada dalam ponsel untuk menangkap getaran awal (P-wave), yang biasanya muncul sebelum gelombang yang lebih merusak (S-wave).

Dampaknya cukup signifikan, karena, jika pada 2019 sistem peringatan dini gempa hanya bisa diakses sekitar 250 juta orang, maka pada 2024 jumlah itu melonjak drastis menjadi 2,5 miliar pengguna Android di seluruh dunia.

“Gempa bumi adalah ancaman konstan bagi komunitas di seluruh dunia. Beberapa detik peringatan sebelum guncangan bisa menyelamatkan nyawa,” tulis Google dalam pernyataannya.

Berbeda dari sistem peringatan gempa tradisional yang mahal dan hanya bisa diakses di negara seperti Jepang, Meksiko, Amerika Serikat, atau Korea Selatan, AEA menawarkan solusi dengan biaya rendah. Sistem ini memanfaatkan jaringan ponsel dan smartwatch yang tersebar luas untuk memprediksi kekuatan dan lokasi gempa, lalu mengirimkan notifikasi kepada pengguna di wilayah terdampak.

Namun, tantangan tetap ada. Sensor ponsel tidak seakurat seismometer profesional. Untuk mengatasinya, Google menggabungkan jutaan sinyal dari perangkat berbeda dan menghitung variabel seperti struktur tanah hingga kondisi bangunan.

Hingga Maret 2024, sistem AEA sudah mengirimkan 1.279 peringatan gempa di berbagai negara, termasuk Indonesia, Jepang, Turki, Yunani, dan Amerika Serikat. Hasil survei menunjukkan 85 persen pengguna yang merasakan gempa juga menerima peringatan, bahkan 36 persen di antaranya menerima notifikasi sebelum getaran terjadi.

Dari ribuan peringatan yang dikirimkan, hanya tiga di antaranya terbukti keliru, dua disebabkan oleh badai petir, dan satu lainnya akibat getaran massal yang dihasilkan notifikasi serentak.

Meski demikian, sistem ini masih belum sempurna. Saat gempa dahsyat mengguncang Turki pada Februari 2023, algoritme sempat meremehkan kekuatannya. Google mengakui kekeliruan tersebut dan langsung memperbarui sistemnya untuk mencegah kejadian serupa.

Kendati demikian, muncul kekhawatiran bahwa sistem penyelamat seperti ini terlalu bergantung pada korporasi teknologi global. Namun, Google menegaskan bahwa AEA tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peringatan nasional, melainkan sebagai pelengkap.

“AEA menunjukkan bahwa smartphone yang tersebar secara global bisa menjadi alat pendeteksi gempa dan pengirim peringatan dini yang seefektif sistem nasional,” tulis tim peneliti Google.

Implementasi global AEA diharapkan bisa mempercepat pengumpulan data, sekaligus meningkatkan akurasi sistem deteksi gempa dunia di masa depan.