Rastranews.id, Jakarta – KPU RI mengeluarkan keputusan No.731/2025 pada Agustus 2025 lalu. Isinya mengatur kerahasiaan sejumlah dokumen capres/cawapres termasuk ijazah, yang tidak bisa diakses publik secara leluasa.
Sontak ini mengundang reaksi publik secara beragam. Dianggap agak aneh dan membingungkan, Jeirry Sumampow selaku Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) meminta KPU RI membatalkan putusan tersebut.
Menurut Jeirry, keputusan KPU ini melanggar beberapa prinsip fundamental pemilu yang dijamin konstitusi dan norma internasional.
Seperti prinsip transparansi. Diketahui prinsip ini mensyaratkan semua tahapan pemilu, termasuk syarat dan verifikasi calon, dilakukan secara terbuka agar publik dapat menilai integritas kandidat.
Sebab para prinsipnya semua dokumen yang terkait dengan syarat calon harus bisa diakses publik.
Dengan menutup 16 dokumen krusial selama lima tahun, KPU kata dia, menghalangi publik untuk memeriksa kebenaran dan keaslian syarat pencalonan.
“Ini masuk kategori pelanggaran berat dalam pemilu. Apalagi malah KPU sebagai pelakunya,” tandasnya dalam keterangan tertulis, Senin, 15 September 2025.
Kemudian prinsip akuntabilitas. Menurut dia, KPU adalah lembaga publik yang bertanggung jawab kepada rakyat.
Menutup dokumen terkait integritas, rekam jejak, dan kepatuhan hukum calon, melemahkan pengawasan publik dan menunjukkan buruknya tanggung jawab KPU terhadap proses pemilu.
Pasal 22E UUD 1945 menekankan pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Transparansi adalah prasyarat kejujuran dan keadilan tersebut.
Kepastian hukum dan kesetaraan. Jika informasi seperti ijazah, laporan pajak, dan LHKPN dikecualikan, muncul kecurigaan adanya standar ganda.
Beberapa calon bisa dilindungi dari pemeriksaan publik sementara calon lain tidak mendapat keuntungan serupa.
Dalam hal ini KPU imbuh Jeirry, melanggar prinsip kesetaraan. Dan dengan ini, KPU menunjukkan keberpihakan kepada calon tertentu, khususnya calon yang memenangkan pemilu lalu.
Sebab akses untuk memeriksa kejujuran calon, tracks record dan latar belakang calon ditutup oleh KPU.
Kemudian partisipasi publik. Menurut Jeirry, pemilih berhak mengetahui latar belakang calon sebelum atau sesudah menentukan pilihan.
Menutup akses tersebut merusak kualitas partisipasi dan mereduksi hak pemilih yang dijamin UU No.7/2017 dan UU KIP No.14/2008.
Dirinya melihat ada beberapa kemungkinan yang bisa dilihat dari keputusan KPU tersebut, yakni perlindungan reputasi atau risiko hukum.
“Ada indikasi bahwa beberapa dokumen pendaftaran mengandung informasi yang rentan dipersoalkan, misalnya kontroversi ijazah, laporan harta kekayaan, atau status pajak calon tertentu,” bebernya.
Berikutnya adalah tekanan politik. Dia melihat, bisa jadi KPU berada di bawah tekanan elite politik tertentu yang berkepentingan dengan dokumen persyaratan calon untuk menutup akses publik, mengingat periode pasca pemilu rawan gugatan atau investigasi.
“Publik bisa saja curiga bahwa keputusan ini terkait dengan kasus ijazah wakil presiden terpilih yang kini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan publik,” katanya.
Dia juga menilai kemungkinan KPU salah dalam menginterpretasi UU KIP.
KPU mungkin berdalih bahwa dokumen pribadi bersifat rahasia, padahal Pasal 2(4) UU KIP jelas mewajibkan uji konsekuensi dan pertimbangan kepentingan publik.
BACA JUGA: Prabowo Kirim Surat Khusus untuk 5 Menteri yang Di-reshuffle dari Kabinet Merah Putih
“Dalam hal ini agaknya KPU agak gegabah, tanpa mempertimbangkan resiko yang akan muncul. Kini malah malah publik bisa makin curiga bahwa proses pemilu lalu memang mengandung masalah serius, yang bisa mendelegitimasi pemilu tersebut,” ujarnya.
Jeirry juga mengendus ada upaya membatasi sengketa pasca pemilu. Dengan menutup dokumen-dokumen tersebut, KPU bisa jadi sedang berusaha menghindari pembongkaran kesalahan administratif yang bisa memicu delegitimasi hasil pemilu.
“Jadi ini bisa jadi adalah upaya KPU untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan dalam pemilu lalu. Malah akibatnya, dengan ini, publik bisa mempertanyakan kembali legitimasi pemilu lalu,” terang dia.
“Patut dicurigai siapa kiranya yang hendak dilindungi KPU?”
Ada beberapa kemungkinan, sebut dia. Pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu, khususnya pasangan calon yang menang dalam pemilu lalu.
Terutama jika ada isu publik, misalnya dugaan pemalsuan dokumen, masalah pajak, atau pelanggaran etika, yang terkait dengan mereka.
KPU sendiri. Untuk melindungi institusi KPU dari kemungkinan bahwa mereka lalai memverifikasi syarat calon dalam pemilu lalu secara benar dan adil.
Atau memang ada sesuatu yang hendak mereka tutupi. Apalagi terkait syarat calon tersebut, khususnya terkait ijazah wapres kini sedang ramai dibicarakan publik.
Elite politik penguasa. Dalam konteks politik kartel dan populisme politik, keputusan ini bisa dibaca sebagai kompromi demi stabilitas elite, bukan demi kepentingan publik.
Begitu juga, bisa jadi ini adalah kompromi dari kemungkinan Komisioner KPU mempunyai persoalan hukum dalam pemilu lalu, yang masih bisa diungkap dan dipersoalkan saat ini.
Pihaknya kemudian menuntut KPU sebaiknya memeriksa kembali keputusan itu, lalu membatalkannya. Sebab keputusan itu secara langsung mendelegitimasi proses pemilu lalu.
Dia juga mendorong publik untuk mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) agar dilakukan uji konsekuensi terbuka.
UU KIP memberi hak publik untuk menantang pengecualian informasi, seperti yang dilakukan KPU ini.
Jeirry juga mendorong media massa untuk mengungkap ada apa di balik keputusan tertutup ini dan meminta DPR melalui Komisi II memanggil KPU untuk menjelaskan mengapa keputusan ini dikeluarkan saat ini. Termasuk mengungkap motif di balik keputusan ini.
Kemudian, meminta Bawaslu RI melakukan analisis dan kajian untuk mempertimbangkan mengajukan gugatan ke DKPP terkait keputusan ini.
“Keputusan KPU 731/2025 mencerminkan kemunduran serius dalam keterbukaan akuntabilitas dan integritas pemilu 2025. Menutup 16 dokumen kunci pendaftaran capres-cawapres selama lima tahun bukan sekadar prosedural, tetapi pelanggaran terhadap prinsip transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, dan hak pemilih untuk tahu,” tandas Jeirry. (MA)