Rastranews.id, Makassar — Komika asal Makassar, Eky Priyagung, mendesak negara untuk memprioritaskan pemulihan korban dalam kasus pencabulan yang dilakukan oleh mantan guru mengaji, Sudirman, yang baru saja divonis 11 tahun penjara.
Vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, namun Eky yang merupakan salah satu korban sekaligus saksi dalam kasus ini menilai putusan itu belum sepenuhnya menghadirkan keadilan bagi para korban.
“Vonis 11 tahun itu terlalu ringan, apalagi dibandingkan dengan penderitaan para korban selama bertahun-tahun. Saya dengar juga ada denda Rp1 miliar, tapi itu pun bukan untuk korban, melainkan masuk ke kas negara,” ujar Eky saat diwawancarai Rastranews, Sabtu (1/11/2025).
Eky menilai, negara seharusnya memastikan korban mendapat restitusi atau ganti rugi, bukan sekadar menghukum pelaku. Namun, ia menyebut banyak korban yang tidak memahami mekanisme restitusi atau bahkan takut untuk menempuh proses hukum lebih lanjut.
“Yang harus saya restitusi adalah anak-anak kecil itu. Tapi mereka sudah capek, banyak yang tidak mengerti soal mekanisme restitusi. Saya merasa, kok hukumnya belum ada di pihak korban, ya?” katanya.
Menurutnya, pemulihan korban mestinya menjadi prioritas setelah putusan dijatuhkan. Namun, hingga kini belum ada langkah nyata dari negara untuk memberikan dukungan psikologis maupun bantuan hukum bagi para korban.
“Harusnya anak-anak korban yang lain itu bisa dapat hak restitusi. Tapi banyak dari mereka yang takut, ada yang disembunyikan orang tuanya karena dianggap aib. Ada juga yang trauma berat. Jadi belum ada ruang pemulihan yang nyata,” tambahnya.
Merasa ruang keadilan belum berpihak pada korban, Eky kini menyalurkan perlawanan lewat karya. Ia tengah menulis buku yang menceritakan perjuangan para korban menghadapi trauma, serta bagaimana agama dijadikan tameng oleh pelaku.
“Saya fokus berkarya saja. Bikin buku, saya abadikan. Biar orang ingat kisah ini, kisah pelaku, kisah korban yang berjuang, dan kisah bagaimana agama dijadikan cover dan tameng,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kebijakan pengenaan denda Rp1 miliar terhadap pelaku yang seluruhnya masuk ke kas negara tanpa menyentuh hak korban.
“Yang paling saya sesalkan, denda Rp1 miliar itu sepenuhnya masuk ke negara. Tidak satu rupiah pun diberikan untuk memulihkan korban. Harusnya dana sebesar itu digunakan untuk pemulihan psikologis atau pendidikan anak-anak korban. Kalau pun itu haknya negara, bantu kami untuk dapat hak kami,” tegas Eky.
Kasus ini mencuat setelah Eky mengunggah video pengakuan di media sosial pada awal 2025 yang kemudian viral. Dalam video itu, ia menceritakan pengalaman dilecehkan oleh gurunya saat berusia 13 tahun.
Pengakuan tersebut memicu keberanian belasan korban lain untuk melapor, hingga akhirnya Sudirman ditangkap dan diadili.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Wahyudi Said menyatakan Sudirman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pencabulan terhadap sejumlah santri dengan menggunakan tipu muslihat, kebohongan, dan bujukan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sudirman dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sejumlah Rp1 miliar, subsider kurungan tiga bulan,” demikian bunyi putusan dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Rabu (29/10/2025).
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reskianisari yang meminta 13 tahun penjara dan denda Rp100 juta, subsider enam bulan kurungan. Namun, majelis hakim menaikkan jumlah dendanya menjadi Rp1 miliar.
Eky berharap, kasus ini menjadi momentum bagi negara untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual, termasuk akses terhadap restitusi yang nyata dan mudah dijangkau. (MU)

