Rastranews.id, Makassar – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan memastikan bahwa penyelidikan dugaan korupsi proyek revitalisasi Universitas Negeri Makassar (UNM) senilai Rp 87 miliar masih terus berjalan di Bidang Pidana Khusus (Pidsus).
“Kasus dugaan korupsi revitalisasi UNM itu masih tahap penyelidikan. Belum naik ke penyidikan,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Soetarmi, saat dikonfirmasi, Jumat (17/10/2025).
Soetarmi menjelaskan, dalam tahap penyelidikan atas kasus tersebut, tim Pidsus telah memanggil dan meminta klarifikasi dari sejumlah pihak terkait.
Namun, ia enggan membeberkan siapa saja yang sudah dimintai keterangan, karena masih bersifat rahasia.
“Sudah banyak yang dimintai klarifikasi, tapi kami belum bisa sebutkan siapa saja. Masih tahap penyelidikan, jadi belum bisa dibuka ke publik,” katanya.
Menurutnya, penyelidikan dilakukan secara hati-hati karena masih mengedepankan asas praduga tak bersalah.
“Kami tetap menjaga asas praduga tak bersalah. Kalau kami sebut nama-nama sebelum waktunya, bisa menimbulkan persepsi yang salah,” tegasnya.
Soetarmi menambahkan, penyelidikan kasus tersebut telah berjalan selama lebih dari dua bulan.
Namun hingga kini, pihaknya belum dapat memastikan adanya unsur kerugian negara atau pelanggaran hukum yang dapat dijadikan dasar peningkatan status perkara.
“Kami belum bisa meningkatkan statusnya karena masih memastikan apakah benar ada perbuatan melawan hukum atau kerugian negara. Jadi penyelidikan masih terus berjalan,” jelasnya.
Diketahui, dugaan korupsi ini menggunakan anggaran PRPTN dari APBN yang digelontorkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi senilai Rp 87 miliar.
Anggaran tersebut untuk mentransformasi UNM dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (BLU) menjadi menjadi PTN BH (Badan Hukum).
Dugaan korupsi itu mencuat, setelah adanya dugaan mark up harga dalam pengadaan barang di e-Katalog, hingga diduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPPK) yang tidak memiliki kompetensi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, dugaan korupsi pertama terjadi dalam proyek laboratorium senilai Rp 4,5 miliar yang seharusnya melalui mekanisme tender.
Kedua, pengadaan 75 unit komputer dengan selisih harga Rp 7 juta per unit, total potensi kerugian Rp 547 juta.
Ketiga, pembelian 20 unit smart board seharga Rp 216 juta per unit, padahal harga pasar maksimal Rp 100 juta, total kerugian Rp 2,3 miliar. (MA)