MAKASSAR, SULSEL — Industri pengolahan nikel di Sulawesi Selatan diprediksi mengalami penurunan pada triwulan ketiga 2025. Proyeksi ini disampaikan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Selatan dalam forum Sulsel Talk 2025 di Kantor Perwakilan BI Sulsel, Makassar, Selasa (12/8/2025).

Pada forum yang mengangkat tema “Mendorong Akselerasi Ekonomi Sulsel di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global”, Kepala Perwakilan BI Sulsel, Rizki Ernadi Wimanda menjelaskan, penurunan industri pengolahan nikel tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tetapi juga melanda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

“Kelebihan suplay, harga turun, sementara biaya produksi tinggi,” ujar Rizki.

Ia menjelaskan, penurunan harga nikel dipicu oleh tiga faktor utama, yakni kondisi oversupply di pasar global, perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai konsumen terbesar nikel, serta pergeseran teknologi baterai dari berbahan nikel ke litium.

Data International Nickel Study Group (INSG) menunjukkan kondisi oversupply sudah berlangsung sejak 2021 hingga 2025. Permintaan stainless steel di Tiongkok melemah akibat perlambatan ekonomi, sementara permintaan baterai berbasis nikel juga mengalami penurunan.

Rizki menekankan bahwa jika smelter-smelter di Sulsel berhenti beroperasi, hal ini akan berdampak langsung terhadap kinerja ekonomi daerah. Selain perlambatan industri, juga terjadi pengurangan tenaga kerja akibat penurunan aktivitas pengolahan nikel.

Akibatnya, ekspor nikel Sulsel mengalami penurunan signifikan. Margin keuntungan pelaku usaha di sektor ini tertekan, dan sejumlah smelter di wilayah Sulsel terpaksa menghentikan operasi.

Situasi ini juga berimbas pada ketenagakerjaan, di mana terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sebagian tenaga kerja. Perekonomian Sulsel diperkirakan masih akan tumbuh stabil pada 2025, meski sejumlah tantangan global membayangi.

Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) Sulsel berada di kisaran 4,8–5,6 persen tahun ini.

Rizki mengatakan gejolak ekonomi global masih berlanjut dan memberi imbas pada perlambatan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia. Sulsel yang memiliki struktur ekonomi cukup beragam tak luput dari tekanan tersebut.

“Ekonomi global kini masih bergejolak. Dampaknya semua negara mengalami perlambatan, tidak terkecuali Sulsel,” ujar Rizki.

Salah satu sumber tekanan terbesar datang dari sektor pertambangan, khususnya nikel. Komoditas ini selama ini menjadi salah satu penopang utama ekspor Sulsel. Namun, harga dan permintaan nikel di pasar internasional tengah melemah.

Meski begitu, BI menilai fondasi ekonomi Sulsel masih cukup kokoh untuk bertahan. Diversifikasi sektor ekonomi, seperti pertanian, perikanan, perdagangan, dan pariwisata, menjadi penopang utama di tengah pelemahan komoditas tambang.

Selain itu, konsumsi rumah tangga yang tetap terjaga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan. Tak hanya sektor pengolahan nikel, Rizki mengungkapkan bahwa sektor pertanian juga mengalami tekanan, terutama karena telah berakhirnya masa panen.

Sebagai langkah antisipasi, Rizki menekankan pentingnya optimalisasi sektor pertanian secara luas, termasuk subsektor perikanan, perkebunan, dan tanaman pangan, guna menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi Sulsel di tengah tantangan global yang terus berubah.

Rizki menambahkan, BI bersama pemerintah daerah akan terus mendorong hilirisasi industri dan memperluas pasar ekspor non-nikel. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada satu komoditas dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi di masa depan. (HL)