Rastranews.id, Makassar – Maraknya praktik tambang, kehutanan, dan bisnis ilegal yang merugikan negara dan merusak ekosistem memicu sejumlah lembaga masyarakat sipil di Sulawesi Selatan meluncurkan Posko Aduan Aktivitas Ilegal Perusak Lingkungan.
Posko ini menjadi wadah bagi masyarakat, terutama petani dan nelayan, untuk melaporkan kejahatan lingkungan tanpa rasa takut dijadikan tersangka.
Ini sebagai bentuk perlawanan kolektif. Inisiatif ini diharapkan menjadi penyeimbang bagi lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor sumber daya alam.
Posko yang diinisiasi oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel ini didukung oleh jaringan organisasi seperti LAPAR Sulsel, Yayasan Pendidikan Lingkungan, LPA Maros, dan PBHI Sulsel.
Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin, menegaskan bahwa gerakan ini lahir dari keprihatinan mendalam atas krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas ilegal.
“Kegiatan ilegal yang masif ini telah merampok uang rakyat, mengurangi pendapatan negara, dan dinikmati segelintir orang saja. Yang lebih parah, kegiatan tanpa dokumen ini menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan. Bayangkan, berapa besar kerugian negara?” tegas Al Amin, Rabu (15/10/2025).
Ia mengajak masyarakat proaktif melaporkan setiap aktivitas mencurigakan. “Laporan akan kami teruskan ke penegak hukum untuk ditindaklanjuti,” janjinya.
Direktur LAPAR Sulsel, Asnawi, menambahkan bahwa keresahan masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti petani dan nelayan, menjadi pendorong utama lahirnya posko ini.
“Masih segar ingatan kita akan banjir besar di Barombong. Masyarakat bawah yang tidak tahu apa-apa justru menjadi korban dari kerusakan di hulu. Ini ironi yang harusnya memantik kesadaran semua pihak,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari wilayah yang merasakan langsung dampak industri ekstraktif. Perwakilan LPA Maros, Asri, menyebut Maros sering dijuluki ‘kota bencana’ akibat aktivitas tambang.
“Di Maros, musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan. Banyak petani terganggu, tapi selama ini bingung mau mengadu ke mana. Posko ini jawabannya,” tuturnya.
Sementara itu, Andi Rais Fattah dari Yayasan Pendidikan Lingkungan (YPL) menyoroti dugaan keterlibatan aparat dalam membiarkan praktik ilegal.
“Boleh jadi sebagian penegak hukum justru terlibat atau diperalat. Kami berharap posko ini menjadi ruang aman. Seringkali, justru pelapor yang dijadikan tersangka,” ungkapnya.
Menjawab kekhawatiran itu, PBHI Sulsel memberikan jaminan hukum. Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sulsel, Syamsul Rijal, menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 119 Tahun 2025 telah melindungi para pejuang lingkungan.
“Putusan ini menegaskan, siapa pun yang memperjuangkan lingkungan tidak bisa dituntut pidana maupun perdata. Masyarakat tidak perlu takut,” tegas Syamsul.
Mekanisme pengaduan akan terpusat di posko induk di Makassar. Laporan masyarakat akan diverifikasi terlebih dahulu sebelum diteruskan ke lembaga penegak hukum terkait. Rencananya, posko serupa akan dikembangkan di berbagai kabupaten dan kota di Sulsel.
Peluncuran posko ini menandai babak baru kolaborasi masyarakat sipil untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum lingkungan, menjadikan suara warga sebagai kekuatan yang tidak bisa lagi diabaikan. (HL)