Lembaga itu menegaskan pentingnya pemberitahuan kepada korban mengenai hak restitusi, prosedur penyitaan aset, serta mekanisme pengajuan restitusi secara menyeluruh.
Menurut ICJR, penyidik harus mulai menelusuri dan menilai aset atau kekayaan Ponpes Al Khoziny untuk kemudian dirampas, disita, dan dilelang oleh kejaksaan serta pengadilan.
Hasil penyitaan tersebut, kata ICJR, tidak cukup dijadikan bukti pidana, melainkan harus diarahkan untuk pemulihan korban, khususnya anak-anak yang selamat dan keluarga korban meninggal.
ICJR mengingatkan praktik aparat selama ini yang kerap hanya menjadikan sita aset sebagai bukti tindak pidana, tanpa memperhatikan hak korban untuk pemulihan.
Padahal, kata lembaga itu, pemberian restitusi bagi korban kelalaian pidana pernah dilakukan di Indonesia, seperti dalam kasus Tragedi Kanjuruhan.
Berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban tindak pidana maupun ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
Karena itu, ICJR mendesak agar aparat hukum berani berkomitmen memberikan informasi, perlindungan, dan hak restitusi bagi para korban tragedi ambruknya Ponpes Al Khoziny. (MA)