Rastranews.id, Makassar – Pengadilan Negeri Makassar akhirnya menggelar sidang pembacaan dakwaan terhadap empat aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) setelah mengalami dua kali penundaan.
Keempat terdakwa adalah Abraham Goram Gaman, Nikson Mau, Maksi Sangkek, dan Piter Robaha—menghadapi tuduhan makar dengan ancaman pidana berat.
Jaksa Penuntut Umum Primawibawa Rantjalobo membacakan dakwaan berlapis terhadap para terdakwa di ruang sidang Ali Said. Mereka didakwa melanggar Pasal 110 ayat (1) KUHP tentang Permufakatan jahat untuk memisahkan wilayah negara, lalu Pasal 106 KUHP tentang Makar terhadap pemerintah atau kepala negara. Kemudian Pasal 55 ayat (1) KUHP, karena turut serta melakukan tindak pidana, serta Pasal 53 KUHP tentang percobaan kejahatan, juga Pasal 87 KUHP tentang Kejahatan terhadap keamanan negara
“Para terdakwa didakwa melakukan permufakatan jahat untuk memisahkan sebagian wilayah NKRI dan telah mewujudkannya dalam perbuatan permulaan,” tegas jaksa.
Sidang ini telah mengalami perjalanan panjang sebelum terlaksana 27 Agustus 2025, tapi gagal lantaran terdakwa tidak dapat dihadirkan. Lalu 28 Agustus 2025 penundaan kedua, lanaran tidak ada pendampingan kuasa hukum. Dan hari ini, Senin (8/9/2025) akhirnya berhasil digelar.
Humas PN Makassar, Sibali, mengonfirmasi kekeliruan informasi sebelumnya. “Kemarin tidak jadi karena legalitas kuasa terdakwa belum ada. Hari ini baru selesai pemeriksaan, langsung dilakukan pembacaan dakwaan.”
Dakwaan mengungkap detail kegiatan terkoordinasi yang dilakukan terdakwa pada 14 April 2025 di Sorong. Abraham Goram Gaman, yang mengklaim sebagai “Menteri Dalam Negeri NFRPB,” memimpin misi penyerahan surat ke enam instansi strategis, diantaranya Kantor Gubernur Papua Barat Daya, DPRD, Wali Kota dan Polda.
Menurut dakwaan, aksi ini direncanakan matang, mulai dari 25 Maret 2025 terdakwa Abraham menerima perintah presiden NFRPB., lalu 9 April 2025 berkoordinasi dengan rekan-rekannya. Para terdakwa saat itu, tampil dengan seragam PDL biru, beret, dan kartu identitas yang dibuat menyerupai dokumen kenegaraan. Mereka bahkan merekam video pernyataan yang kemudian viral di media sosial.
Kasus ini menimbulkan kompleksitas hukum karena peristiwa terjadi di Sorong namun diadili di Makassar. Perpindahan yurisdiksi ini berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung RI No. 131KMA/SK.HK2.2/VII/2025 dengan pertimbangan kondisi keamanan daerah.
Sidang lanjutan dijadwalkan 15 September 2025 dengan agenda eksepsi (keberatan) terhadap dakwaan dari pihak terdakwa. Pengadilan bersiap memperketat pengamanan mengantisipasi demonstrasi lebih besar.
“Mengingat potensi situasi, koordinasi dengan kepolisian dan aparat terkait terus diintensifkan,” kata Sibali. (HL)