Rastranews.id, Makassar – Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa berniat menerbitkan peraturan menteri untuk memberantas peredaran pakaian bekas atau yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan istilah pakaian thrift.
Menteri yang baru sebulan bergabung di Kabinet Merah Putih itu, belum memaparkan dengan detail regulasi baru yang akan dibuatnya.
Tetapi, Purbaya menyebut langkah tersebut nantinya akan memperkuat peraturan menteri perdagangan (Permendag) yang sudah ada sebelumnya. Tentu dengan memuat beragam sanksi seperti denda atau pencabutan izin impor.
Diketahui sebelumnya, pelarangan impor pakaian thrift telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022.
Rencana Menkeu ini menuai beragam reaksi. Beberapa pedagang pakaian bekas dengan skala UMKM juga mengeluhkan niat Menkeu ini. Sebab tak sedikit dari mereka yang hanya bertumpu dari bisnis thrifting.
Namun, Ekonom dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Sutardjo Tui, menilai kebijakan ini merupakan langkah yang tepat. Hanya saja dengan catatan, perlu diimbangi solusi alternatif bagi pelaku usaha kecil yang terdampak.
Ia menilai, penghentian impor bukan berarti jalan buntu. Pemerintah tetap harus hadir memberi arah baru bagi pelaku usaha yang sudah terlanjur terjun dalam bisnis tersebut.
“Ketika impor pakaian bekas dihentikan, pemerintah harus menyiapkan solusi, misalnya dengan mengalihkan pelaku UMKM yang semula berjualan pakaian bekas agar bergabung ke Koperasi Merah Putih, usaha kuliner, atau bidang lain yang produktif,” tuturnya, Jumat (31/10/2025).
Sutardjo mencontohkan, di daerah seperti Parepare, yang dikenal sebagai pusat perdagangan pakaian bekas, bisa diciptakan jenis usaha baru seperti kuliner atau produk fesyen lokal.
“Kalau kendalanya modal, sekarang ada banyak skema pinjaman dengan bunga rendah, bahkan tanpa jaminan. Pemerintah juga bisa bantu lewat jaringan UMKM dan asosiasi. Karena pada dasarnya, masalah UMKM itu hanya dua, modal dan jaringan,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa pelarangan impor pakaian bekas justru dapat mendorong tumbuhnya industri dalam negeri.
“Dengan tidak adanya impor, produsen lokal justru akan terdorong untuk menciptakan produk yang berkualitas dan terjangkau,” ujarnya.
“Pemerintah bisa menurunkan pajak bahan baku agar harga produksi dalam negeri turun. Dengan begitu, uang yang tadinya keluar untuk impor bisa dihemat dan dialihkan untuk memperkuat industri lokal serta melindungi tenaga kerja di dalam negeri,” sambung Sutardjo.
Menurut Sutardjo, setiap kebijakan pasti memiliki sisi positif dan negatif, namun yang terpenting adalah memastikan masyarakat kecil tidak dirugikan. Sebab ia melihat selama ini, pihak yang diuntungkan dari impor pakaian bekas ini hanya segelintir orang saja.
“Lebih baik kita dukung kebijakan pelarangan impor pakaian bekas ini, asalkan pemerintah hadir memberi solusi pekerjaan dan pendapatan alternatif bagi masyarakat terdampak,” tutupnya.(JY)

