Makassar – Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas) di Jalan Perintis Kemerdekaan menyaksikan dua momen kontras yang mencerminkan filosofi kepemimpinan berbeda pada Kamis (28/8/2025). Dalam rentang waktu yang berdekatan, dua bakal calon rektor mendaftarkan diri dengan gaya yang sangat berbeda, namun sama-sama membawa visi transformatif untuk Unhas.

Marhaen Hardjo: Kolaborasi sebagai Kekuatan
dr. Marhaen Hardjo tiba di lantai 4 Gedung Rektorat dengan dikawal oleh energi kolektif yang mencolok. Sepuluh perempuan mengenakan baju merah bertuliskan ‘Vote Marhaen Hardjo, Calon Rektor Unhas 2026-2030, Unhas Unggul Mendunia dan Berdampak Nyata’ mendampingi langkahnya.

Tim sukses yang terdiri dari kalangan sahabat dan profesional di luar kampus ikut hadir, menegaskan pendekatan lintas sektor yang menjadi ciri khasnya.

“Saya datang dengan visi dan misi didampingi oleh tim sukses saya, yang juga merupakan sahabat-sahabat saya. Walaupun mereka tidak mempunyai hak pilih, saya yakin kepercayaan yang diberikan kepada saya merupakan sebuah amanah,” ujar dr. Marhaen dengan penuh keyakinan.

Kehadiran pendukung dari kalangan pengusaha dan lembaga swasta bukan tanpa alasan. dr. Marhaen mengangkat konsep “triple helix, bahkan sekarang pentahelix” sebagai fondasi visinya menjadikan Unhas sebagai center of excellence pada 2030.

Menurutnya, kolaborasi antara dunia pendidikan, usaha, dan pemerintah adalah kunci untuk mensejahterakan dosen dan tenaga pendidik.

“Dunia pendidikan hanya berisi akademisi, kita akan membuat sebuah perubahan,” tegasnya. Visi konkretnya mencakup pembangunan fasilitas seperti perumahan dengan harga terjangkau bagi warga kampus. “Warga Unhas tidak shouldnya tidak punya rumah dan masih ngontrak,” tambahnya dengan tegas.

Prof. Iqbal Djawad: Kekuatan dalam Kemandirian
Beberapa waktu kemudian, suasana berubah drastis ketika Prof. Ir. Muhammad Iqbal Djawad, memasuki ruangan yang sama. Tidak ada rombongan, tidak ada spanduk, tidak ada tim sukses. Hanya seorang akademisi dengan tas berisi kertas kerja berjudul “Point of No Return” yang akan mengubah narasi kepemimpinan Unhas.

“Sejak awal saya sudah ditanyakan, mengapa hadir sendiri tanpa pendamping? Saya tegaskan bahwa ini adalah bagian dari tradisi akademik. Oleh karena itu, saya ingin hadir secara mandiri, terbuka, dan sesuai dengan budaya akademik yang kita junjung,” tegas Kepala Pusat Kajian ASEAN pada LP2M UNHAS ini.

Pilihan Prof. Iqbal untuk datang seorang diri bukan karena tidak memiliki dukungan, melainkan refleksi dari filosofi kepemimpinannya.

Visinya tertuang dalam strategi komprehensif untuk mentransformasi Unhas menjadi poros pengetahuan dan inovasi maritim-kepulauan dunia, melanjutkan tradisi yang dirintis Prof. Amiruddin dengan Pola Ilmiah Pokok Kelautan.

Meski berbeda dalam pendekatan, kedua calon memiliki visi transformatif yang kuat. dr. Marhaen menekankan bahwa kontestasi ini bukanlah tentang kalah atau menang, melainkan pertarungan gagasan. “Ini bukan pertarungan kemenangan. Ini adalah pertarungan ide. Bisa saya kalah, tapi ide saya saya sampaikan untuk rektor yang terpilih yang akan datang,,” tegasnya.

Sementara Prof. Iqbal mengkritisi sistem pendidikan tinggi yang terlalu fokus pada “educare” namun mengabaikan “educere” untuk membangkitkan kemandirian dan pemikiran kritis. Strateginya mencakup enam konteks global dengan integrasi kecerdasan buatan, big data, dan realitas virtual ke dalam sistem pembelajaran.

“Unhas menyadari untuk tidak sekadar menjadi pengikut perubahan paradigma sistem pendidikan global, tetapi juga menjadi penentu dari sistem perubahan itu,” jelas Prof. Iqbal tentang visi Unhas sebagai pusat unggulan berbasis Benua

Ketua Panitia Pemilihan Rektor (PPR) UNHAS, Prof. Dr. drg. Hasanuddin Tahir, mengonfirmasi bahwa berkas kedua kandidat dinyatakan lengkap setelah pemeriksaan 13 kelengkapan berkas. (HL)