JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI Ahmad Labib menyoroti potensi krisis kepercayaan di sektor fintech peer-to-peer (P2P) lending menyusul temuan mengejutkan mengenai salah satu pemain besar di industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), yaitu PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (AKII).
Ia mencatat platform tersebut tercatat menyalurkan pinjaman hingga Rp178,3 miliar hanya kepada enam peminjam (borrower), jauh melampaui batas maksimum pinjaman individu sebesar Rp2 miliar sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022.
Selain itu, tingkat wanprestasi Akseleran mencapai 57,6%, yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh pinjaman telah menunggak lebih dari tiga bulan.
Labib juga menyoroti praktik pemasaran yang menyesatkan, terutama oleh influencer keuangan di media sosial, yang menggambarkan investasi di P2P lending sebagai aman karena diasuransikan. Namun, ia menegaskan bahwa risiko tetap ditanggung oleh lender, dan asuransi hanya menutup sebagian kecil dari risiko tersebut.
“Masalah di Akseleran bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola kegagalan sistemik di industri P2P lending. Beberapa platform besar lainnya juga mengalami masalah serupa, mencerminkan lemahnya pengawasan dan perlindungan konsumen di tengah inovasi keuangan digital yang berkembang pesat,” tukas Labib.
Sejumlah platform besar lainnya juga menghadapi krisis serupa seperti Investree dilaporkan mengalami dana tersangkut hingga Rp400 miliar, Tanifund memiliki kredit macet senilai Rp120 miliar, dan iGrow dilaporkan oleh puluhan nasabah dengan total dugaan kerugian mencapai Rp500 miliar.
“Perlindungan konsumen harus menjadi prioritas, dan teknologi digital seharusnya memperkuat posisi masyarakat, bukan menyamarkan risiko,” tekan Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Jatim X ini.
Tidak boleh ada ruang bagi praktik menyesatkan atau pelanggaran hukum. Penindakan pidana oleh kepolisian, sistem pengaduan yang sederhana dan transparan oleh OJK dan pemerintah, serta peran aktif BPKN dalam membentuk posko aduan fintech digital yang responsif dan berpihak pada konsumen.
“Perlindungan konsumen tidak boleh hanya menjadi jargon. Teknologi digital seharusnya memperkuat posisi masyarakat, bukan menjadi alat untuk menyamarkan risiko,” pungkas politisi Partai Golkar ini.