Rastranews.id, Makassar – Direktorat Polisi Air dan Udara (Ditpolairud) Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) merilis capaian pengungkapan kasus tindak pidana di wilayah perairan sepanjang 2025.
Sulsel, Irjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan bahwa total 14 laporan polisi destructive fishing dan 1 laporan polisi satwa dilindungi berhasil ditangani.
“Ditpolairud Polda Sulsel selama tahun 2025 mengungkap kasus destructive fishing sebanyak 14 laporan polisi. Total tersangka saat ini berjumlah 18 orang,” ujarnya di Mako Ditpolairud, Rabu (10/12/2025).
Kapolda menjelaskan, dari 14 kasus tersebut, 11 LP sudah tahap II, dua LP tahap I, dan satu masih penyelidikan. Lokasi kasus tersebar di sejumlah pulau di Makassar, Pangkep, Selayar, Bone, Sinjai, hingga Luwu.
“Ini merupakan komitmen kami dalam rangka menyelamatkan alam dan kesinambungan habitat perairan. Penggunaan bahan peledak tidak hanya menangkap ikan yang layak dikonsumsi, tetapi juga ikan-ikan kecil dan merusak tempat berkembang biaknya,” tegasnya.
Barang bukti destructive fishing yang diamankan tergolong besar, mulai dari 11 karung pupuk 25 kilogram, 89 jeriken bahan peledak siap ledak, 64 botol bom ikan, 369 detonator, 74 potong sumbu, kompresor, selang, kaki katak, dakor, hingga bahan campuran peledak lainnya.
“Kami menerapkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, dengan ancaman hukuman seumur hidup, hukuman mati, atau penjara setinggi-tingginya 20 tahun,” kata Kapolda.
Selain destructive fishing, Ditpolairud juga menangani satu kasus besar satwa dilindungi melalui LP Nomor A/84/11/2025.
Kasus ini berawal dari laporan masyarakat mengenai maraknya penangkapan penyu di Kepulauan Tanakeke.
“Tersangka beserta barang bukti berupa 11 karung potongan tubuh penyu diamankan pada Rabu 12 November sekitar pukul 17.30 WITA. Jika melihat dari jumlah 11 karung tersebut, diperkirakan jumlah penyu yang dipotong mencapai kurang lebih 150 ekor,” terang Kapolda.
Barang bukti yang disita terdiri dari sekitar 571 kg daging dan bagian tubuh Penyu Hijau (Chelonia mydas).
Para tersangka menangkap penyu di perairan Pangkep, Takalar, dan Selayar menggunakan jaring khusus, lalu memotongnya langsung di atas kapal.
“Penyu ditangkap lalu dipotong, kemudian ditaburi garam untuk diawetkan, dimasukkan ke dalam karung, disimpan di gudang, lalu dijual,” jelasnya.
Dalam kasus ini, penyidik menerapkan pasal konservasi dengan ancaman pidana lima tahun dan denda hingga Rp100 juta.
Mantan Dirtipidum Bareskrim Polri ini juga membeberkan temuan penting terkait jaringan peredaran detonator dan bahan peledak di wilayah Sulsel.
Ada dua jalur utama, yakni jaringan dari Tawau, Malaysia, dan jaringan lokal dari Pasuruan, Jawa Timur.
“Detonator pabrikan merek 88 asal India masuk dari Malaysia. Amonium nitrat juga masuk dari Malaysia melalui perbatasan Nunukan-Kaltara,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa jaringan ini sudah lama beroperasi dan terus menjadi sasaran penindakan. Sementara dari jaringan lokal Pasuruan, polisi menemukan peredaran detonator rakitan (lappa-lappa) yang dibawa menggunakan kapal feri, Pelni, atau RoRo.
“Saat ini kami masih mencari seorang DPO atas nama HI,” ungkap Djuhandhani.
Bahan lain seperti pupuk “cantik” juga diolah nelayan dengan cara digoreng dan dicampur solar. Peredaran bahan-bahan ini terdeteksi di wilayah kepulauan Pangkep, Makassar, Selayar, dan Sinjai.
Kapolda menyimpulkan bahwa seluruh pengungkapan ini merupakan hasil pengawasan intensif Ditpolairud sepanjang Januari–November 2025.
“Ditpolairud telah membentuk pos atau pangkalan di setiap kabupaten wilayah perairan untuk mengawasi dan mencegah tindak pidana di laut Sulawesi Selatan,” katanya.
Ia menegaskan pentingnya sinergi penegakan hukum dan edukasi masyarakat. Kapolda juga mengajak seluruh masyarakat ikut menjaga kelestarian laut.
“Apa yang menjadi kekayaan dan keindahan laut Sulawesi Selatan tidak boleh hanya dinikmati oleh generasi saat ini, tetapi harus bisa dinikmati juga oleh anak cucu kita nantinya,” tutupnya. (MA)

