Barang bukti yang disita terdiri dari sekitar 571 kg daging dan bagian tubuh Penyu Hijau (Chelonia mydas).
Para tersangka menangkap penyu di perairan Pangkep, Takalar, dan Selayar menggunakan jaring khusus, lalu memotongnya langsung di atas kapal.
“Penyu ditangkap lalu dipotong, kemudian ditaburi garam untuk diawetkan, dimasukkan ke dalam karung, disimpan di gudang, lalu dijual,” jelasnya.
Dalam kasus ini, penyidik menerapkan pasal konservasi dengan ancaman pidana lima tahun dan denda hingga Rp100 juta.
Mantan Dirtipidum Bareskrim Polri ini juga membeberkan temuan penting terkait jaringan peredaran detonator dan bahan peledak di wilayah Sulsel.
Ada dua jalur utama, yakni jaringan dari Tawau, Malaysia, dan jaringan lokal dari Pasuruan, Jawa Timur.
“Detonator pabrikan merek 88 asal India masuk dari Malaysia. Amonium nitrat juga masuk dari Malaysia melalui perbatasan Nunukan-Kaltara,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa jaringan ini sudah lama beroperasi dan terus menjadi sasaran penindakan. Sementara dari jaringan lokal Pasuruan, polisi menemukan peredaran detonator rakitan (lappa-lappa) yang dibawa menggunakan kapal feri, Pelni, atau RoRo.
“Saat ini kami masih mencari seorang DPO atas nama HI,” ungkap Djuhandhani.
Bahan lain seperti pupuk “cantik” juga diolah nelayan dengan cara digoreng dan dicampur solar. Peredaran bahan-bahan ini terdeteksi di wilayah kepulauan Pangkep, Makassar, Selayar, dan Sinjai.

