MAKASSAR, SULSEL – Pembangunan Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Makassar kini berada di persimpangan jalan. Masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2025, proyek yang di kota ini dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) digadang-gadang sebagai solusi pengelolaan sampah modern.

Namun, di balik rencana besar itu, ada suara lantang dari ribuan warga yang menolak keberadaannya. Puluhan warga Kelurahan Mula Baru, Kecamatan Tamalanrea, datang berbondong-bondong ke Balai Kota Makassar, Selasa (19/8/2025).

Mereka duduk berhadapan dengan Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyampaikan kegelisahan mereka. Lokasi pembangunan yang hanya berjarak seratus meter dari pemukiman dan bersebelahan dengan sekolah berisi seribu siswa, membuat kekhawatiran itu semakin nyata.

“Kalau ini beroperasi, tentu berdampak sampai tiga puluh tahun ke depan,” ungkap Jamaludin, salah seorang perwakilan warga, dengan nada getir. Ia menilai proyek itu bukan sekadar menghadirkan listrik dari sampah, melainkan juga ancaman kesehatan yang mengintai.

Warga menyebutkan sejumlah alasan penolakan, mulai dari potensi bau menyengat yang muncul dari 1.300 ton sampah per hari, risiko abu terbang yang bisa memicu penyakit pernapasan seperti ISPA, hingga suara bising dari turbin yang dianggap melebihi baku mutu lingkungan.

Bukan hanya itu, hasil pembakaran yang berpotensi mengandung dioksin, furan, dan logam berat dikhawatirkan menjadi sumber penyakit berbahaya, sementara lindi bisa merembes dan mencemari air tanah.

Di hadapan warganya, Munafri memilih untuk tidak buru-buru mengambil sikap. Ia mengaku masih menunggu kepastian regulasi dari pemerintah pusat, mengingat payung hukum pembangunan PSEL sebelumnya berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang kini sudah ditiadakan.

“Saya sudah bolak-balik bertanya ke kementerian, apakah masih tunduk pada Perpres 35 atau tidak? Ini agar tidak ada masalah hukum maupun persoalan kesehatan lingkungan di kemudian hari,” katanya.

Kini, pengelolaan PSEL berada dalam koordinasi Kementerian Koperasi Pangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang akan menyedot dana APBD pun menjadi pertanyaan lain.

Apalagi, dari total sampah harian Makassar yang mencapai 1.000 hingga 1.300 ton, lebih dari separuhnya adalah sampah organik yang sulit diolah menjadi energi listrik.

Munafri meragukan kapasitas itu akan cukup untuk menghasilkan listrik 20–25 MW sesuai target. “Kalau tidak cukup, apakah harus mengambil sampah dari daerah lain untuk mencukupkan? Ini yang harus dikaji serius,” ujarnya.

Sebagai alternatif, Pemkot Makassar mulai menguji coba pengelolaan sampah berbasis wilayah dengan pemisahan sejak dari sumbernya. Insinerator ramah lingkungan pun disiapkan di tingkat kelurahan dan kecamatan sebagai solusi jangka pendek.

“Kalau kita mampu kelola sampah organik, jumlah sampah yang tersisa tidak akan cukup lagi untuk PLTSa. Jadi, lebih baik kita kelola langsung di sumbernya,” tambah Munafri.

Nasib proyek PSEL Makassar akan dibicarakan dalam rapat koordinasi di Jakarta pada 28 Agustus mendatang bersama sejumlah kepala daerah lain. Tiga isu utama yang akan dibahas adalah aspek lingkungan, legalitas administrasi, serta pemilihan lokasi.

“Saya hadir bukan untuk marah kepada investor. Tapi saya ingin investasi yang menyenangkan semua orang. Kalau justru merugikan masyarakat, lebih baik tidak ada investasi sama sekali,” tegasnya.

Meski status proyek sudah berada dalam kerangka PSN dan pemenang tender telah ditetapkan, Pemkot Makassar memastikan belum ada keputusan final. Bagi Munafri, yang lebih penting adalah memastikan setiap aturan, kajian, dan dampak benar-benar jelas.

“Kalau semua belum clear, saya tidak akan mengambil keputusan. Karena lebih baik anggaran besar itu digunakan untuk memperkuat pengelolaan sampah langsung di masyarakat,” pungkasnya. (HL)