Rastranews.id, Makassar – Universitas Muslim Indonesia (UMI) sekali lagi membuktikan komitmennya sebagai kampus untuk semua kalangan. Dalam wisuda periode ini, dua sosok luar biasa dengan latar belakang yang sangat berbeda menyita perhatian dan menjadi bukti nyata bahwa semangat pantang menyerah mampu menaklukkan segala rintangan.

Bagi kebanyakan orang, membaca teks adalah hal biasa. Namun, tidak bagi Reski Try Ulva. Sebagai penyandang tunanetra, perjalanannya meraih gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Sastra, Ilmu Komunikasi, dan Pendidikan UMI adalah sebuah prestasi yang mengagumkan.

Sejak hari pertama, UMI membuka pintu lebar untuknya tanpa diskriminasi. Dosen dan teman-teman kuliahnya menjadi sistem pendukung yang kuat, membantunya navigasi dalam dunia perkuliahan.

Reski mengandalkan teknologi screen reader pada laptop dan smartphonenya untuk mengakses materi kuliah, mengerjakan tugas, dan menyelesaikan skripsinya.

“Saya tidak pernah merasa sendiri, justru merasa menjadi bagian dari keluarga besar UMI,” ungkap Reski dengan penuh syukur.

Kisahnya adalah cerita tentang bagaimana keterbatasan fisik tidak pernah mampu membatasi keinginan kuatnya untuk belajar dan berkarya. Ia tidak hanya membaca teks, tetapi juga membaca dunia dengan hati dan tekadnya.

Sementara Reski berjuang melawan keterbatasannya, Nuraimi Aidini Arlis berjuang membagi waktu antara mengabdi untuk negara dan mengejar cita-cita akademis.

Sebagai prajurit Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) TNI, ia baru saja resmi menyandang gelar Sarjana Sastra Inggris.

Tantangannya tidak main-main. Sejak bergabung dengan TNI pada 2020, ia harus menjalani kedisiplinan tinggi sebagai prajurit.

Namun, mimpi untuk menyelesaikan pendidikannya tidak pernah pudar. Bahkan, di tengah kesibukannya, ia mendapat tugas bergengsi sebagai pasukan perdamaian PBB di bawah misi United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) untuk periode 2024-2025.

“Antara tugas negara dan mimpi pribadi, saya memilih menjalani keduanya,” tegas Nuraimi dengan mantap.

Ilmu yang dipelajarinya di Program Studi Sastra Inggris UMI bukan hanya untuk meraih gelar, tetapi menjadi bekal berharga untuk menjalankan misi perdamaian dan berdiplomasi di kancah internasional.

Kisah Reski dan Nuraimi bagai dua sisi mata uang yang sama-sama berharga. Mereka mencerminkan wajah UMI yang inklusif, humanis, dan berkelas dunia.

Dari Reski, kita belajar bahwa keterbatasan hanyalah persepsi. Dari Nuraimi, kita memahami bahwa pengabdian pada negara dan pencapaian intelektual dapat berjalan beriringan.

Kedua wisudawan inspiratif ini adalah embrio dari generasi penerus bangsa yang tangguh, yang tak hanya pintar secara akademis tetapi juga memiliki mental pejuang. (HL)