MAKASSAR, SULSEL – Di sebuah bangunan sederhana di Jalan Sunu, Kota Makassar, aroma manis donat goreng menyeruak dari balik dapur mungil. Di dalamnya, tampak beberapa tangan cekatan membentuk adonan, menggoreng, dan menghias kue bulat itu dengan senyum, tanpa suara.
Mereka bekerja dalam diam, tapi semangatnya menggema lebih nyaring dari kata-kata. Itulah Donat Tuli Café Mella. Sebuah usaha kecil yang tumbuh dari ketekunan seorang perempuan tuli bernama Hj. Ramlah. Di tempat inilah, donat bukan sekadar makanan, tetapi simbol kemandirian. Di tempat inilah pula, kesunyian bukan berarti ketakberdayaan.
Sabtu (2/8/2025) pagi, Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Fatmawati Rusdi berkunjung. Ia tidak sekadar melihat-lihat. Ia datang untuk menyimak, merasakan, dan menguatkan, bahwa keberpihakan bukan hanya urusan kebijakan di atas meja, melainkan hadir langsung menyapa mereka yang selama ini berjalan di pinggiran arus.
“Saya merasa sangat bangga berada di sini. Komunitas tuli telah menunjukkan bahwa keterbatasan fisik tak pernah menjadi penghalang untuk tumbuh dan mandiri,” ujar Fatmawati, tersenyum hangat, di hadapan para penggerak komunitas tersebut.
Ia mengunjungi dua tempat sekaligus, Donat Tuli Café dan Rumah Qur’an Nur Afiah. Dua titik penting dalam perjuangan komunitas tuli Makassar. Keduanya dirintis oleh Hj. Ramlah, yang sejak 2010 merangkai mimpi dari bawah.
Dulu, ia menitip donat-donat buatannya di warung kecil. Kini, usahanya mempekerjakan delapan karyawan tuli dan mengantongi omzet Rp2–3 juta per hari.
“Setelah kami dibantu fasilitas rebranding oleh pemerintah, usaha ini makin berkembang. Bahkan, beberapa mantan karyawan kami sekarang sudah punya usaha sendiri,” ucap Ramlah, dibantu juru bahasa isyarat.
Namun perjuangannya tidak berhenti di situ. Ia mendirikan Rumah Qur’an Nur Afiah, tempat belajar mengaji bagi penyandang tuli. Di sana, metode kitabah, belajar Al-Qur’an lewat penulisan, membantu mereka memahami firman Tuhan dengan pendekatan visual.
Dalam kunjungan tersebut, Fatmawati juga menerima Juz Amma edisi khusus kitabah. “Ini bukan sekadar karya. Ini adalah jembatan spiritual yang luar biasa,” katanya sambil membolak-balik halaman.
Ketua DPD GERKATIN Sulsel, Andi Arfan, yang turut mendampingi, menyoroti masih minimnya kehadiran juru bahasa isyarat (JBI) dalam layanan publik. Ia berharap, pemerintah tak hanya hadir hari ini, tapi juga konsisten membangun ruang yang setara.
“Kami ingin bisa mengikuti khutbah Jumat, upacara, dan semua aktivitas masyarakat secara penuh. Kami butuh JBI hadir di semua ruang,” ungkap Arfan.
Fatmawati menyambut aspirasi itu. “Saya akan terus dorong agar juru bahasa isyarat disediakan di setiap acara resmi dan pelayanan umum. Termasuk di rumah ibadah,” tegasnya.
Kunjungan hari itu bukan sekadar seremoni. Ia adalah bentuk penghargaan atas suara yang selama ini tak terdengar. Suara yang berbicara lewat karya, lewat ketekunan, dan lewat keberanian untuk terus berdiri meski dunia sering tak memberi tempat.
Di akhir kunjungan, Fatmawati menyampaikan pesan sederhana namun dalam, “Jangan pernah remehkan potensi teman-teman tuli. Mereka bukan butuh belas kasihan, mereka butuh kesempatan. Mari kita bangun Sulsel yang ramah, adil, dan inklusif untuk semua.” (HL)