Rastranews.id, Makassar – Pagi itu, Jalan Urip Sumoharjo, arteri utama Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sudah riuh oleh deru kendaraan.
Namun, di antara kemewahan mobil dan gedung-gedung pencakar langit, terpampang pemandangan lain yang tak kalah akrab: sosok-sosok yang bertarung dengan kerasnya kehidupan di trotoar.
Mereka adalah anak jalanan, gelandangan, dan pengemis (anjal dan gepeng) yang menjadi bagian dari wajah urban kota metropolitan.
Salah satunya adalah Daeng Ngai (60). Dengan tekun, perempuan sepuh itu mendorong gerobak kayunya yang sederhana.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan panjang berjalan kaki dari rumahnya di Adyaksa Baru menuju kawasan Urip Sumoharjo. Jumat adalah hari istimewa; ia memulai aktivitas lebih pagi.
“Hari biasa jam 2 baru keluar, magrib pulang,” ujarnya, menceritakan jam kerjanya dengan polos, seolah menggambarkan sebuah profesi formal yang ia lakoni selama dua tahun terakhir.
Di balik kerutnya, tersimpan cerita. Daeng Ngai terpaksa turun ke jalan karena tidak ada lagi suami yang menafkahi. “Tidak ada suami cari uang,” katanya singkat.
Kini, ia hanya hidup berdua dengan anak bungsunya, berusaha mempertahankan napas kehidupan.
Sebagai upaya meringankan beban, pemerintah memberikannya Bantuan Sosial (Bansos) berupa beras.
Namun, bantuan yang datang hanya setiap 2-3 bulan sekali itu bagai setetes air di padang pasir. “Tidak pernah cukup,” mungkin adalah ungkapan yang terpatri dalam benaknya, meski tak terucap.
Yang lebih menyentuh, Daeng Ngai mengaku tidak pernah sekalipun merasakan program pembinaan atau pemberdayaan dari pemerintah. Hanya dua kata pendek yang ia ucapkan ketika ditanya: “Tidak pernah.”
Keberadaan Daeng Ngai dan ratusan lainnya seperti dia adalah cermin dari persoalan sosial-ekonomi yang masih mengakar di tengah gemerlap Makassar.