ᨆ ᨄᨒᨄ ᨅᨘᨁᨗ ᨉᨗᨕᨚ ᨈᨚᨑᨐ᨞

TANA TORAJA – Udara sejuk di Randan Batu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan terasa berbeda dari biasanya pada akhir Juli 2025. Angin yang menyapu lembut dedaunan seolah membawa kabar gembira. Ma’ Palapa Bugi’ kembali digelar.

Setelah dua dekade terdiam, ritual sakral yang pernah hidup dalam denyut spiritual masyarakat Hindu Toraja itu akhirnya bangkit lagi.

Dari tanggal 25 hingga 29 Juli, Pasraman Panaungan dipenuhi wajah-wajah sumringah. Masyarakat Hindu, tokoh adat, pemuka agama, hingga perwakilan pemerintah, berbaur dalam suasana yang penuh kekhidmatan dan rasa syukur.

Ini bukan sekadar upacara. Ini adalah upaya menyulam kembali benang-benang spiritual dan budaya yang sempat terputus oleh waktu dan perubahan zaman.

Merawat Warisan, Menyapa Generasi
Di tengah semaraknya pelaksanaan, suara harapan terdengar lantang dari Allopadang, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Tana Toraja. Baginya, kembalinya Ma’ Palapa Bugi’ adalah sebuah penanda penting.

Ma’ Palapa Bugi’ ini bukan hanya soal budaya, tapi juga menyentuh inti spiritualitas kami. Ini menjadi momen penting bagi generasi muda Hindu Toraja untuk kembali mengenal akar mereka,” tuturnya penuh harap.

Ia meyakini, tanpa perhatian serius dari pemerintah, ritual ini bisa kembali tenggelam dalam diam. Karena itu, dukungan nyata, bukan sekadar seremonial, menjadi hal mendesak agar tradisi ini tetap hidup dan berkembang.

Acara ini juga memancarkan semangat toleransi yang khas dari bumi Toraja. H. Tamrin Lodo dari Kementerian Agama Tana Toraja menyampaikan kesan yang begitu dalam.

“Saya bersyukur bisa menyaksikan langsung kegiatan ini. Ini membuktikan bahwa pembinaan keagamaan berjalan baik, dan kita hidup dalam masyarakat yang saling menghargai,” katanya.

Pujian serupa datang dari Simon Kendek Paranda, Pembimas Hindu Kanwil Kemenag Sulsel. Ia menyebut, kegiatan ini hanya mungkin terwujud karena masyarakat Toraja menjunjung tinggi keberagaman.

“Kita hidup dalam keberagaman yang saling menghargai. Ini bukan hanya soal ritual, tapi tentang kesadaran spiritual akan Tuhan (A’deata) dan alam semesta,” jelasnya.

Bagi Simon, Ma’ Palapa Bugi’ adalah refleksi harmoni antara manusia dan jagat raya. Sebuah pengingat bahwa spiritualitas tidak berhenti di altar, tetapi hidup dalam kesadaran sehari-hari.

Hari-hari pelaksanaan Ma’ Palapa Bugi’ menjadi saksi pertemuan lintas elemen masyarakat. Ketua PHDI Sulsel, I Gede Durahman, hadir bersama para kepala lembang, tokoh adat, dan aparat KUA Makale Selatan.

Tak ada sekat. Yang ada hanya kebersamaan dalam merawat jejak sejarah yang selama ini tersimpan di dalam hati. Ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bukan tugas satu pihak, melainkan simfoni yang dimainkan bersama.

Kembalinya Ma’ Palapa Bugi’ bukan akhir dari perjalanan. Justru inilah awal dari sebuah kebangkitan. Sebuah pengingat bahwa budaya hanya akan bertahan jika diwariskan. Dan warisan, tanpa ruang untuk belajar dan mengambil peran, hanyalah kenangan yang perlahan hilang.

Jika pemerintah serius menjaga warisan leluhur, maka dibutuhkan langkah konkret, berupa dukungan anggaran, program pelatihan, serta pendidikan berbasis kearifan lokal. Generasi muda perlu dilibatkan, bukan sekadar jadi penonton.

Sebab sejatinya, budaya tidak akan punah karena dimakan waktu, tetapi karena diabaikan oleh pewarisnya. Dan Ma’ Palapa Bugi’ telah memberi nyawa pada warisan itu, agar tak sekadar hidup dalam cerita, tapi bernapas di tengah masyarakat yang menjaganya.