MAKASSAR, SULSEL – Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan (Sulsel) melaporkan bahwa nilai ekspor provinsi ini mengalami penurunan signifikan sebesar 20,94% selama lima bulan pertama tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kepala BPS Sulsel, Aryanto, mengungkapkan bahwa total nilai ekspor dari Januari hingga Mei 2025 hanya mencapai US$636,65 juta. Penurunan paling mencolok terjadi pada komoditas nikel, yang merupakan unggulan Sulsel, dengan nilai ekspor menyusut hingga US$56,07 juta atau setara dengan 13,97%.

“Nikel selama ini menyumbang porsi dominan dalam struktur ekspor Sulsel. Oleh karena itu, guncangan pada sektor ini memberikan dampak signifikan terhadap total nilai ekspor,” jelas Aryanto.

Pada bulan Mei 2025, nilai ekspor Sulsel tercatat hanya US$129,37 juta, turun 21,75% dibandingkan Mei tahun lalu.

Namun, di tengah penurunan tersebut, ada kabar baik. Komoditas garam, belerang, dan kapur menunjukkan kinerja positif dengan lonjakan nilai ekspor sebesar US$8,89 juta, meningkat 50,33% dibandingkan Januari–Mei 2024.

“Meskipun kontribusinya masih minor, pertumbuhan pada komoditas ini menunjukkan peluang diversifikasi ekspor yang perlu dioptimalkan,” tambah Aryanto.

Di sisi lain, kondisi impor juga mengalami pelemahan. Total nilai impor barang yang dibongkar di pelabuhan Sulsel pada Mei 2025 tercatat sebesar US$59,06 juta, anjlok 44,83 persen dibandingkan Mei tahun lalu yang mencapai US$107,06 juta.

Aryanto menyebutkan bahwa tren penurunan impor ini mengindikasikan kemungkinan melambatnya aktivitas industri manufaktur di Sulsel.

“Penurunan impor barang modal dan bahan baku seperti mesin dan bahan bakar mencerminkan kehati-hatian pelaku industri terhadap kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Penguatan sektor hilirisasi dan pembukaan pasar ekspor non-tradisional sangat penting untuk mendorong daya saing komoditas Sulsel,” ungkapnya.

Pengamat ekonomi dari Unismuh Makassar, Abdul Muttalib, menilai kondisi ini sebagai alarm serius terkait kegagalan struktur ekspor Sulsel. Ia menekankan bahwa penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan ketergantungan jangka panjang pada komoditas mentah, terutama nikel.

“Ketika harga atau permintaan global terganggu, kita langsung terpukul,” tegasnya.

Muttalib juga mengkritik Sulsel yang gagal membangun sistem hilirisasi yang kuat. “Kita mengekspor bahan mentah, tetapi mengimpor barang olahan atau alat berat. Ini adalah pola lama yang tidak berkelanjutan,” tambahnya.

Ia menyoroti penurunan impor mesin dan bahan bakar sebagai sinyal bahwa aktivitas manufaktur dan industri dalam negeri sedang melambat. “Jika impor mesin dan bahan bakar turun, artinya pabrik tidak berproduksi, mesin tidak berjalan. Ini bisa memicu PHK dan menurunkan daya beli masyarakat,” pungkasnya.