Rastranews.id, Makassar – Kota Makassar masih bergulat dengan tantangan implementasi Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mulai dari sinkronisasi hukum, aparat yang belum sepenuhnya berpihak pada korban, hingga minimnya program rehabilitasi untuk mencegah pelaku mengulang tindakannya.
Alita Karen dari Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel mengungkapkan, selain masalah pendampingan korban yang belum merata, dua tantangan utama adalah sinkronisasi hukum dan kurangnya rehabilitasi bagi pelaku.
“Pendampingan korban mulai membaik, tetapi belum menjangkau semua yang membutuhkan,” ujar Alita, Kamis (9/10/2025).
Menurut Alita, penanganan kasus sering terbentur pada lapangan. “Masih ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak berpihak pada korban,” tegasnya.
Ia menyoroti perlunya pelatihan lebih intensif bagi APH serta sinkronisasi yang lebih baik antara UU TPKS dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tantangan krusial lainnya adalah minimnya perhatian terhadap rehabilitasi pelaku. Alita memperingatkan bahwa fokus yang hanya pada pemidanaan tanpa upaya perbaikan bagi pelaku justru berpotensi menciptakan pengulangan kejahatan.
“Fokus hukum masih pada pemidanaan. Belum banyak program rehabilitasi atau edukasi bagi pelaku untuk mencegah kekambuhan, sehingga pada akhirnya perbuatannya akan terus berulang,” jelasnya.
Di tengah tantangan tersebut, sejumlah upaya positif telah dijalankan. Pemerintah Daerah Kota Makassar melalui UPTD PPA kini memiliki unit Tim Reaksi Cepat (TRC) yang menjadi garda terdepan.
“Selain itu, ada juga shelter warga yang berada hampir di semua kelurahan, aktif melakukan penjangkauan dan pendampingan,” tambah Alita.
Ia menegaskan bahwa solusi permanen hanya bisa dicapai melalui intervensi multisektor. “Kasus-kasus ini tidak bisa diselesaikan oleh satu lembaga saja. Dibutuhkan jejaring lintas sektor. Kalau tidak ada intervensi lintas sektor, kita hanya akan memadamkan api tanpa memperbaiki sumber apinya,” tutupnya.
Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel mendorong beberapa intervensi kunci, antara lain:
1. Edukasi Komprehensif: untuk anak, orang tua, dan guru mengenai batas tubuh, cara melapor, dan literasi digital.
2. Layanan di Akar Rumput: Pos pengaduan dan shelter warga di tiap kelurahan dengan pendamping terlatih.
3. Saluran Pelaporan Modern: Hotline dan platform digital aman untuk pelaporan cepat.
4. Peningkatan Kapasitas Aparat: Pelatihan APH agar berpihak pada korban dan memahami UU TPKS.
5. Kampanye Publik Masif: di sekolah, masjid, pasar, dan media lokal.
6. Penguatan Anggaran: untuk perlindungan dan layanan korban.
7. Kolaborasi Lintas Pilar: antara pemerintah, komunitas, media, dan tokoh agama. (HL)