Rastranews.id, Jakarta – Mantan narapidana dan residivis kasus korupsi, Ahmad Hidayat Mus, kembali berurusan dengan hukum.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya resmi menetapkan Ahmad sebagai tersangka atas dugaan penggelapan aset boedel pailit senilai hampir Rp20 miliar.
Penetapan ini dilakukan berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/5659/IX/2023 tertanggal 22 September 2023.
Dalam penyelidikan, aparat menemukan adanya pengalihan aset milik Ahmad yang telah disita berdasarkan putusan pailit, kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan kurator. Beberapa aset tersebut diduga dialihkan kepada anggota keluarganya.
Aset yang dimaksud meliputi tanah dan bangunan yang berlokasi di Gandaria Utara, Jakarta Selatan, serta Tapos, Depok. Aset-aset ini sebelumnya tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Ahmad Hidayat Mus.
Penyidik menduga pengalihan aset tersebut melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan saat ini tengah mendalami unsur pemalsuan dokumen serta dugaan tindak pidana pencucian uang.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mendesak Bareskrim Polri untuk mengawasi proses penyidikan secara ketat. Ia menyoroti rekam jejak Ahmad yang sebelumnya telah dua kali terlibat dalam kasus korupsi besar.
“Tersangka Ahmad Hidayat Mus adalah residivis, dua kali terlibat korupsi. Kami mendesak Kabareskrim Polri untuk mengawasi penyidikan ini secara ketat agar tidak ada praktik mafia hukum,” tegas Sugeng kepada wartawan, Jumat (26/9/2025).
Ahmad sebelumnya dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas kasus korupsi pembangunan infrastruktur di Kepulauan Sula. Ia juga divonis empat tahun penjara dalam perkara korupsi pembangunan masjid.
Kini, ia ditahan oleh Unit I Subdit IV Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Ditreskrimsus atas dugaan penggelapan aset pailit, pemalsuan dokumen, dan tindak pidana pencucian uang.
Ahmad diketahui telah mengajukan permohonan gelar perkara khusus ke Bareskrim pada awal September 2025. Namun IPW menilai langkah tersebut bisa menjadi celah untuk mengaburkan fakta hukum.
“Kami menghormati hak tersangka untuk mengajukan perlindungan hukum. Namun, jangan sampai mekanisme ini disalahgunakan untuk menghambat proses penyidikan,” tambah Sugeng.(JY)